Percayalah

122 13 6
                                    


Dee duduk termenung di atas ranjang rumah sakit. Selang infus terpasang di tangan kanannya. Matanya menatap nanar ke arah jendela di sebelahnya. Pikirannya berkelana pada kejadian sore tadi yang mengantarkan dirinya ke tempat ini.

"Tidak! Mereka sudah putus beberapa tahun lalu. Lebih lama dari usia orang yang kamu sebutkan itu. Dan semua orang tahu, termasuk pers!!"

Tristan menghembuskan napas lelahnya melihat sifat keras kepala Dee.

"Itu yang kamu dan publik ketahui, Dee. Tapi kenyataannya mereka diam-diam masih memiliki hubungan." Dee yang hendak protes, mengurungkan niatnya ketika Tristan melanjutkan argumennya.

"Lihat ini!" tunjuk Tristan pada sebuah artikel, "foto ini diambil paparazzi pada jam tiga pagi. Kalau mereka tidak punya hubungan, buat apa seorang pria keluar dari apartemen wanita saat dini hari?" sindir Tristan sinis sembari mendengus remeh.

Dee hanya menatap nanar dan meremas tangannya menyalurkan kemarahannya. Ia ingin menyangkal semua tuduhan Tristan, tetapi bibir dan lidahnya kelu tak mampu bicara.

"Aku dengar wanita itu enggan punya komitmen dan tidak percaya dengan pernikahan. Jadi masuk akal kalau dia tidak meminta pertanggung jawaban suamimu." Dee terbelalak kaget mendengar pernyataan Tristan tersebut.

Benarkah? Tidak! Itu tidak mungkin, batin Dee tidak percaya.

"Buka matamu, Dee. Pria itu tidak sebaik yang kamu kira," ucap Tristan enggan menyebut nama El, nama pria perusak kebahagiaannya itu.

"Bagaimana jika suatu saat wanita itu kembali? Bukan demi dirinya tapi demi sang anak. Karena pada dasarnya manusia pasti ingin tahu asal usulnya, 'kan?" Dee terhenyak dan menggeleng kepala kuat.

Ceklek ...

Bunyi handle pintu mengagetkan Dee dari lamunannya. Seorang pria memakai polo shirt putih dipadu dengan celana jeans pendek masuk, memasang senyum tiga jari menuju ke arahnya.

"Hai, Sweetheart. Maaf, lama," sapa El mengecup pipi Dee. "Lihat, apa yang aku bawa?" pamer El sembari mengangkat benda yang dibawanya.

El menuju pojok ruangan, mengambil meja makan pasien dan mendorongnya ke hadapan Dee. Dengan sigap ia mengeluarkan semua isi bawaannya.

"Ini terlalu banyak, El," tegur Dee halus ketika melihat makanan yang tersaji di depannya. Sop krim, martabak manis, potongan buah-buahan, dan ...

El hanya meringis sambil menggaruk tengkuknya ketika Dee menyipitkan mata tidak suka ada junk food di antara hidangannya itu.

"Aku lapar sekali dan lagi pingin makan itu," jawab El memasang wajah merajuk.

"Tadi aku sangat mengkhawatirkanmu. Mana mungkin aku sempat memikirkan nasib perutku di saat pikiran dan hatiku tersita memikirkan keadaanmu, Dee. Please, jangan seperti ini lagi. Melihatmu tidak sadarkan diri dengan wajah pucat begitu membuatku takut," jelas El sendu hingga membuat Dee merasa bersalah.

Maaf, gumam Dee lirih.

El menggeleng, "Sudah lupakan. Ayo makan."

Selanjutnya mereka makan dalam diam menikmati makanan masing-masing. Kelihatan sekali kalau El lapar, terlihat dari cara makannya yang lahap. Dee terenyuh melihatnya. Sesekali mereka bercanda, Dee mengomeli suaminya tentang bahaya junk food dan hanya ditanggapi El dengan tertawa.

Sebenarnya Dee ingin menanyakan sesuatu yang sedang berkecamuk di pikirannya. Tapi ia mengurungkan niatnya. Biarlah malam ini ia menikmati kebersamaannya bersama sang suami.

A Celebrity's Wedding StoryWhere stories live. Discover now