Alli tidak tahu itu bulu apa semalam, tetapi pagi ini dia tahu. Semalam dia hanya meraba bulu itu dan kamarnya gelap. Dia kira itu hanya mimpi. Tetapi bulu yang tumbuh di punggungnya ini berwarna hitam, seperti bulu angsa.
Alli memakai kembali t-shirtnya dan kembali berlari menuju ke kelasnya untuk mengambil buku. Justin ada disana, menduduki kursi Alli sambil menunggunya kembali. Alli menarik nafas panjang, berlari kearah Justin dan mengambil laptop serta bukunya. Alli cepat-cepat berlari lagi dan Justin langsung mencegahnya. Justin menangkap tangan Alli dan bertanya, “Kau mau kemana?”
Dari tatapan khawatir Justin, Alli bisa tahu kalau Justin mencari emosi yang terlihat dimata Alli. Alli menggeleng dan melonggarkan pegangan Justin dan berlari secepat mungkin. Dia berlari tergesa sambil memasukkan laptop ke tas selempang kusamnya.
Alli berlari ke rumahnya walau tahu rumahnya berjarak lima blok dari sekolahnya. Alli berlari sambil menangis.
Alli terus berlari, tertapi agak melambat karena dia merasakan bulu-bulu itu semakin menusuk keluar dagingnya. Alli menangis menahan sakit.
Sekitar dua puluh menit, Alli baru sampai di rumahnya. Alli berlari menyusuri undakan—tangga—rumahnya dan menerobos masuk pintu rumahnya tanpa mengetuk dan menekan bell.
Ayahnya yang sedang duduk di ruang tengah mendengar suara gedebum besar dari lantai dua, tempat dimana kamar Alli berada. Ayah Alli langsung menaruh kopinya dan berjalan pelan keatas. Dari tangga saja, Ayah Alli bisa mendengar Alli terisak keras dan sesekali berteriak kesakitan.
Ayah Alli langsung berlari ke pintu dan membukanya: dikunci.
“Alli! Apa yang terjadi, Alli?” teriak Ayahnya dari luar.
“Pergilah!” rengek Alli ketika dia merasakan puluhan bulu kembali menerobos keluar dagingnya—perih.
“Alli, apa kau sakit? Apa aku harus menelpon Mum?” Ayahnya mencoba untuk lebih tenang.
Alli terisak, “Jangan katakan apapun ke Mum, tolong. Aku tidak ingin dia kembali ke rumah dan terjadi hal-hal yang tidak ingin kulihat.”
Ayah Alli berlari ke bawah, mengambil obeng dan palu untuk membongkar kunci kamar Alli. Ayah Alli memukul pintu itu beberapa kali dengan palu dan akhirnya terbuka setelah berkali-kali memukul.
“Ti-tidak.” Ayah Alli kehilangan nafas dan kata-kata.
Alli terisak, duduk di bawah ranjangnya dengan kepala disenderkan ke atas ranjang dengan tumpuan tangan. Darah ada di sekitar seprai ranjangnya dan dia terus menangis.
“Kemari, Alli.” Ayah Alli mengangkat Alli ke gendongannya, menenangkan Alli di setiap rintihan dan tangisnya. Alli membasahi t-shirt berlubang ayahnya. Alli semakin merasakan bulu itu menyeruak keluar dan mengakibatkan darah ada di sekitar lengan ayahnya.
“Shhhh. Shhhh.” bisik ayahnya.
“I-tu menyakitkan, D-dad.”
“Aku tidak pernah ingin ini terjadi padamu, Alicia.”
Alli dengan perlahan berhenti menangis dan menjerit, sakit yang menyeruak itu sudah lebih baik setelah ayahnya mengecup pelan pundaknya. Ayah Alli menggendong Alli ke ranjang, mendudukannya disana. Ayah Alli berlutut untuk melihat ke anaknya tepat di mata.
“Dengar, Alli. Dad tidak ingin kau seperti ini lagi. Dad ingin kau menyembunyikan ini semua, mengerti?” kata Ayah Alli, mengusap air mata Alli yang kembali jatuh ke pipinya. Alli tersenyum tipis dan mengangguk.
“Dad ingin kau mencari kalung salib, agar sayap itu terus tersembunyi. Dad ingin kau memakai baju tebal dan sweater agar kau bisa mencegah sayap itu terbuka. Dad ingin kau kuat, Alli.” Ayah Alli menyentuh pipi Alli, dan Alli menggenggam tangan ayahnya yang satu lagi. Ayah Alli mendekap Alli dalam pelukan hangat dan Alli terus menerus menangis.