[Best Story] The Black Cat (3)

246 28 2
                                    

Untuk semakin menegaskan kebencianku terhadap kucing itu, adalah penemuan yang baru kusadari pada keesokan paginya setelah malam sebelumnya kuambil kucing itu, yaitu, seperti Pluto, kucing itu juga kehilangan salah satu matanya. Namun kondisi kekurangannya tersebut malah membuatnya semakin dicintai oleh istriku, seperti yang telah kukatakan sebelumnya, ia adalah wanita yang memiliki jiwa kemanusiaan yang amat besar, yang dulu pernah pula kumiliki dan kujadikan sebagai sumber kesenanganku, namun kini sifat itu menjadi sangat menjijikan bagiku.

Keenggananku untuk berurusan dengan kucing itu semakin meningkat di dalam diriku. Hewan itu, dengan keras hati, terus mengikuti kemanapun kakiku melangkah, hal ini mungkin sedikit sulit untuk kujelaskan kepada pembaca secara rinci. Kapanpun ia berbaring, ia akan selalu merangkak ke bawah kursi yang kududuki, atau naik ke pangkuanku dan bermanja-manja dengan malas. Ketika aku beranjak berdiri, ia akan berjalan perlahan di antara kedua kakiku hingga hampir membuatku terjatuh, atau, menancapkan cakar-cakarnya dengan lembut pada pakaian yang kukenakan, kemudian bergerak ke atas hingga posisinya seperti bergantung pada dadaku. Pada saat-saat demikian, meskipun hatiku begitu kuat ingin menghancurkannya, namun aku masih sanggup untuk menahan diri; sebagian karena kenangan perbuatan kejiku di masa lalu masih terlintas di dalam benakku, namun alasan yang utama adalah – izinkan aku untuk mengakuinya kali ini saja – karena rasa takutku yang amat besar pada kucing itu.

Ketakutan yang kumiliki bukan karena melihat penampilan fisiknya yang menyeramkan – sedikit sulit bagiku untuk menjelaskan alasannya di sini. Aku malu untuk mengakui – ya, bahkan dengan jiwa jahatku yang besar ini, aku sangat malu mengakui – bahwa ketakutan dan kengerian yang ditimbulkan oleh hewan itu bagiku tampak seperti keseraman makhluk chimaera. Istriku telah beberapa kali mengingatkanku bahwa kucing itu memiliki bulu berwarna putih di bagian dadanya, sangat berbeda dengan kucing yang pernah kubinasakan sebelumnya. Pembaca mungkin masih ingat, bahwa bagian tubuhnya yang berbulu putih itu memang cukup lebar namun tidaklah terlalu terlihat mencolok; meskipun pada awalnya bagiku tidak terlihat mencolok – bahkan aku bersikeras untuk menganggapnya tidak terlihat sama sekali – tapi, semakin lama bagian itu menjadi bagian nyata dan memberikan perbedaan yang tegas. Keberadaan makhluk yang membuatku bergetar untuk menyebutkannya – dan untuk hal ini, melebihi segala hal lainya, aku merasa enggan dan amat ketakutan, dan ingin mengenyahkan diriku sendiri dari dekat monster itu – kini, seperti berubah menjadi sosok yang sangat menyeramkan, mengerikan yang bangkit dari TIANG GANTUNGAN! Kesengsaraan dan Kematian – oh, mesin pencabut nyawa dan penghukuman yang menyedihkan dan menakutkan.

Dan kini aku terpuruk di tengah-tengah keterpurukan sisi kemanusiaanku. Dan hewan itu – saudaranya yang telah kubinasakan sebelumnya – terus menghantuiku; ia membayang-bayangiku dengan kekuatan pengaruhnya yang bagaikan Dewa Tertinggi – oh! Aku tak tahan, sialan! kini, siang atau malam, aku tak lagi merasa tenang! Kucing yang sebelumnya tak pernah membiarkanku sendiri; dan kini, kucing yang berikutnya, selalu menghantuiku dengan mimpi-mimpi menyeramkan dan mendapati makhluk itu menghembuskan napas panasnya di wajahku, serta membebaniku dengan bobotnya yang berat – sungguh mimpi buruk yang tak sanggup kujauhkan dari diriku – ia terus merongrong hatiku, selamanya!

Di bawah tekanan siksaan yang tak kunjung berhenti ini, sisi lemahku sepertinya memilih untuk menyerah kalah. Namun, pikiran-pikiran jahat muncul dan menjadi sahabat baikku – pikiran terjahat dan tergelap. Ketidakstabilan hati dan jiwaku kini semakin parah menjadi kebencian pada semua hal dan semua orang; meledaknya amarahku yang muncul secara mendadak, sering dan tak terkendali itu telah membutakan hatiku, dan seperti sebelum-sebelumnya, istriku yang tak pernah mengeluh dan penyabar itu menjadi korban utama pelampiasan amarahku.

Pada suatu hari, istriku menemaniku untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga. Ia mengikutiku pergi ke gudang bawah tanah dari bangunan tua ini, tempat tinggal yang terpaksa harus kami huni karena tekanan kemiskinan yang harus kami alami. Kucing itu mengikutiku menuruni tangga yang curam, dan, ia hampir saja membuatku terjungkal jatuh, hingga mendorongku ke puncak amarahku. Secara spontan, aku mengangkat kapak, dan dengan gelap mata, segala rasa takutku terhadapnya seolah hilang. Kuayunkan senjata itu, dan hendak menghunjamkannya ke tubuh makhluk tersebut, dengan harapan bahwa ia akan segera binasa. Namun tangan istriku segera menahan perbuatanku. Merasa terhalang oleh intervensi tersebut, amarahku semakin menggila, aku menarik tanganku dari genggaman istriku dan menghunjamkan kapak tersebut pada kepalanya. Ia menghembuskan napas seketika itu pula, dan jatuh terkulai tanpa rintihan.

Pembunuhan keji itu baru saja terjadi, aku pun segera menyadarkan diriku sendiri; dengan segenap usaha aku berpikir untuk menyembunyikan jasad wanita itu. Aku tak mungkin membawanya pergi dari rumah, baik di siang maupun malam hari, tanpa risiko bahwa para tetangga mungkin saja melihat. Aku memutar otak, berbagai ide muncul di dalam benakku. Sesaat aku berpikir untuk memotong-motong jasad itu menjadi beberapa bagian kecil, dan menghilangkan jejak dengan cara membakar potongan-potongan tubuh tersebut. Sesaat kemudian, ide untuk menggali lubang di lantai gudang bawah tanah dan menguburnya di sana terlintas pula di dalam kepalaku. Lalu, berpikir untuk membuang jasad itu ke dalam sumur di halaman – atau, memasukkannya ke dalam kardus dan membungkusnya sedemikian rupa dan serapi mungkin hingga tampak seperti suatu produk pabrik, lalu memanggil kurir untuk membawanya pergi dari rumah. Namun, pada akhirnya aku menemukan ide yang kuanggap terbaik dibandingkan ide-ide lainnya. Aku memutuskan untuk menyembunyikannya di dinding gudang bawah tanah – seperti yang katanya biasa dilakukan oleh para biarawan pada zaman pertengahan, di mana mereka menguburkan para korbannya di dalam dinding.

Aku rasa, inilah salah satu fungsi gudang bawah tanah. Dinding-dinding di dalam ruangan ini dibangun secara longgar, dan diberi sapuan lapisan plester seadanya, yang masih terasa basah karena kelembapan di dalam ruangan ini sangat tinggi sehingga sulit bagi lapisan tersebut untuk kering. Selain itu, pada salah satu dindingnya terdapat bagian yang menjorok ke depan, seperti tempat cerobong asap dan perapian, namun bagian itu pun telah diisi dengan material sehingga menjadi selaras dengan bagian ruangan lainnya. Aku sangat yakin bahwa tempat itu cocok bagiku untuk menyembunyikan jasad tersebut; aku hanya perlu mengeluarkan material yang mengisi rongga itu, lalu memasukkan jasadnya, dan mengisinya kembali dengan material sehingga tetap terlihat sama seperti semula.

Edgar Allan Poe 💀 [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang