[Best Story] The Black Cat (4)

277 32 1
                                    

Aku merasa yakin dengan perincian dan perhitungan rencanaku ini. Dengan bantuan linggis, dengan mudah aku dapat merobohkan batu-batu bata yang tersusun, dan dengan hati-hati aku kemudian menyandarkan jasad itu ke dinding di belakangnya. Aku mengalami sedikit kesulitan ketika harus menyusun ulang batu-batu bata tersebut ke tempatnya semula. Telah kusiapkan mortar, pasir dan serat, dengan segala perhitungan yang tepat, selain itu, aku pun telah menyiapkan cairan plester yang serupa dengan cairan semula; kusapukan cairan plester tersebut dengan sangat hati-hati di atas dinding bata yang baru kususun. Setelah pekerjaan itu selesai, aku merasa puas dengan hasilnya dan semua tampak biasa-biasa saja. Dinding itu tak menunjukkan perbedaaan dari sebelumnya. Kotoran dan sampah yang berserakan di lantai gudang kuambil satu per satu dengan saksama. Aku melihat ke sekeliling dengan rasa bangga dan lega, kukatakan pada diriku sendiri – “Akhirnya, pekerjaanku tak sia-sia.”

Tugasku berikutnya adalah mencari kemana perginya kucing itu; kucing yang telah menyebabkan segala kerepotan ini. Aku telah bertekad bulat untuk membinasakannya. Bila aku melihatnya saat itu juga, maka tamatlah riwayatnya saat itu pula; namun, sepertinya hewan cerdik itu mengerti bahwa aku hendak menghabisi nyawanya, terutama setelah melihat betapa murkanya diriku sebelumnya, sehingga kurasa ia memilih untuk menghindariku dalam suasana hatiku yang sedang buruk ini. Sulit bagiku untuk mendeskripsikan secara rinci, atau untuk membayangkan, betapa dalam dan betapa bahagia serta leganya perasaanku dengan perginya makhluk menjijikkan itu. Bahkan hingga malam hari datang, ia masih tidak menampakkan batang hidungnya – dan untuk pertama kalinya, sejak kehadiran kucing itu di rumahku, aku dapat tidur dengan begitu nyenyak; ya, tidur dengan sangat nyenyak meskipun beban dari rasa bersalah karena telah melakukan pembunuhan masih menggelayuti jiwaku!

Hari kedua dan ketiga berlalu begitu saja, dan tetap, pegancam jiwaku itu masih belum menampakkan dirinya. Sekali lagi, aku sanggup bernapas seperti orang yang merdeka. Monster yang terus menghantuiku itu kini telah pergi entah kemana, untuk selamanya! Aku tak perlu lagi melihatnya! Inilah puncak kebahagiaanku! Rasa bersalah dari perbuatan jahatku memang masih mengganggu, tapi sangat sedikit saja. Beberapa pertanyaan memang telah bermunculan, namun semua telah terjawab. Bahkan pencarian pun telah dilakukan – namun tentu saja, tak ada yang dapat ditemukan. Aku merasa bahwa kebahagiaan masa depanku sudah terjamin dan aman.

Menginjak hari keempat setelah peristiwa pembunuhan itu, sekelompok polisi tanpa terduga, mendatangi rumahku, dan melakukan penyelidikan secara saksama ke seluruh penjuru rumah. Aku merasa aman, tempatku menyembunyikan jasad itu tak mungkin ditemukan, tak sedikitpun rasa bersalah terpancar dari wajahku. Para petugas kepolisian itu memintaku untuk turut menemani mereka melakukan penyelidikan ke sekeliling rumah. Tak ada celah atau satu sudut pun yang luput dari pengamatan mereka. Kemudian, setelah tiga atau empat kali berkeliling rumah, mereka memutuskan untuk turun ke gudang bawah tanah. Aku tak merasa tegang atau bergetar. Detak jantungku masih berdegup dengan tenang, seperti seseorang yang tengah tertidur dengan lelap. Aku berjalan menyusuri setiap sisi gudang itu. Tangan kulipat di depan dadaku, dan bergerak dengan santai kesana-kemari. Para petugas polisi tampaknya telah selesai meneliti ruangan itu dan mereka pun hendak beranjak pergi. Rasa bahagiaku bergelora di dalam dada dan sulit bagiku untuk menahan luapannya. Aku pun berucap kepada mereka, dengan nada yang penuh dengan kemenangan, dan untuk menegaskan kepada mereka bahwa aku tidak bersalah.

“Tuan-tuan,” aku berseru, ketika sekelompok polisi itu menaiki anak tangga, “Saya senang karena telah berhasil menjawab segala kecurigaan Anda semua. Saya harap Anda semua sehat selalu, dan semoga Anda dapat bersikap lebih sopan lain kali. Perlu Anda semua ketahui, tuan-tuan, ini adalah rumah yang dibangun dengan konstruksi terbaik.” (Dengan hasratku yang menggebu untuk mengatakan sesuatu yang sederhana, pada kenyataannya aku sama sekali tak tahu apa yang keluar dari mulutku) – “Saya yakin sekali, ini rumah yang dibangun dengan tepat. Dinding-dinding ini – Anda ikut, tuan-tuan? – dinding-dinding ini disusun dengan sempurna”; dan di sini, dengan keberanian yang tak masuk akal, aku menghantam dengan sekeras mungkin, menggunakan tongkat yang ada di dalam genggamanku, bagian dinding bata tempat aku menyembunyikan jasad istriku.

Namun, atas perlindungan Tuhan dan penyelamatan-Nya atas diriku dari mulut iblis! Tak lama setelah gema pukulan tongkatku pada dinding itu berhenti, aku mendengar suara yang berasal dari balik dinding tersebut! –suara tangisan yang mulanya tertahan namun kemudian pecah, seperti anak kecil yang menangis sesenggukan, lalu berlanjut menjadi suara teriakan panjang, nyaring dan terus-menerus, namun suara itu terdengar tidak biasa dan tidak seperti suara manusia – lebih tepatnya, seperti suara lolongan – memekik dengan lantang, sebagian terdengar seperti sesuatu yang menyeramkan tapi sebagian lagi terdengar seperti suara kemenangan seolah-olah suara itu berasal dari neraka. Seperti perpaduan suara jeritan yang keluar dari mulut mereka yang telah dikutuk, memekik kesakitan dan suara para iblis yang berska-ria menghukum para penghuni neraka tersebut.

Pikiran-pikiran tak keruan terlintas di dalam benakku, dan akan terdengar begitu bodoh jika kujelaskan. Aku gontai dan sempoyongan, hingga bersandar pada dinding di sisi lain. Selama beberapa saat, para petugas kepolisian yang masih berdiri di anak tangga hanya terdiam dan bergerak, mereka merasa heran dan sedikit ketakutan. Kemudian, selusin lengan yang kuat mulai menghantam-hantam dinding. Semua terasa sangat nyata. Jasad itu, dalam kondisi yang sudah membusuk dan bersimbah darah, berdiri dengan tegak di hadapan seluruh orang yang berada di dalam ruangan itu. Sementara di atas kepalanya, ada sesosok makhluk seram dengan mulut merah yang terbuka dan satu mata yang tampak seperti dipenuhi kobaran api, bertenggerlah monster yang telah mendorongku untuk melakukan pembunuhan itu, dan suara nyaringnya yang telah mengantarkanku ke tiang gantungan. Jadi, selama ini aku telah mengubur kucing monster itu di balik dinding!

Edgar Allan Poe 💀 [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang