Rumana: 5

836 53 0
                                    

"Kak Ghani!" seru Rumana ketika melihat suaminya melintas. Dia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan cepat—bahkan berlari kecil—menghampiri Ghani.

Mendengar panggilan istrinya, Ghani berhenti. Tubuhnya mematung ketika lengannya disentuh perlahan oleh Rumana. Ghani memandang wajah sang istri yang tersenyum padanya. Akan tetapi, Ghani menguatkan diri untuk tak bereaksi. Membiasakan jika suatu saat nanti senyum itu tak dapat ia lihat lagi.

"Nanti malem ke tempatnya Dokter Devi, ya. Jangan lupa."

"Aku udah bilang nggak akan dateng," tolaknya.

Sedikit perih di hati Rumana. Belakangan ini, Ghani selalu menolak untuk menemaninya pergi. "Makan buah, yuk? Aku ambilin," bujuk Rumana.

Ghani perlahan menarik lengan yang dipeluk Rumana. "Aku ada urusan," tolak Ghani lagi.

"Kakak baru pulang, masa mau pergi lagi? Pergi sore begini pasti pulangnya larut," gerutu Rumana.

Nada suara Ghani meninggi. "Aku memang ada keperluan."

Rumana tak dapat menahannya lagi. "Aku juga dokter. Jangan kira aku bodoh atau egois nggak mau ngerti. Justru aku paham, studi untuk dokter spesialis itu menyita waktu. Pengabdian kita terhadap masyarakat juga nggak bisa diabaikan. Tapi Kakak punya keluarga yang butuh diperhatikan." Air mata Rumana sudah menggenang di pelupuk matanya. "Setidaknya pikirkan kondisi Kakak sendiri. Jangan maksain diri, nanti sakit."

"So what do you care!?" bentaknya.

Rumana tak kalah meninggikan suaranya. "Aku istri kamu, tentu aja aku peduli. Gimana, sih?!"

 Gimana, sih?!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
RUMANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang