04.9
Matahari sudah tinggi. Saat ini aku sedang berada di tepi sungai. Sungai yang cukup lebar—mungkin ada 6 meter—dengan aliran air tidak terlalu deras dan bebatuan besar di sekitarannya. Air di sungai ini sangat jernih.
Lokapala yang membawaku kesini. Umh, mungkin lebih tepatnya meninggalkanku sendiri disini.
Setelah acara reuni sejenak dengan saling melempar tatapan yang tidak aku mengertih, Lokapala mengangkatku menunggangi Betty, disusul dengannya. Kami menunggangi Betty dengan posisi aku di depan dan dia dibelakang. Romantis bukan? Seharusnya sih. Kalau saja aku tidak gugup dan bisa menikmati perjalanan.
Aku bukan gugup karena berada begitu dekat dengan Lokapala. Tapi karena caranya berkuda yang sangat tidak berperikekudaan. Dia menjajal seberapa bertenaganya Betty! Sampai-sampai aku tidak bisa duduk tegak saking takutnya—ternyata Betty bisa berlari tak kalah ngebut dengan motorku.
Sinting! Pasti Lokapala mengerjaiku!
Belum juga sampai di penginapan, Lokapala malah menurunkan aku di sungai ini. Kemudian ia pergi begitu saja setelah bertitah, "bersihkan tubuhmu. Tunggu sampai saya kembali kesini."
Oh! Menyebalkan. Dan lagi Rita mengekor tak jauh dibelakangnya, membuatku tidak memiliki kesempatan memastikan dia benar-benar Rita yang sama atau bukan.
Sekarang apa yang harus aku lakukan? Aku sangat-sangat mau mandi. Tapi tidak ada sabun dan handuk—kalau kata Didi Kempot sih 'pabrik e rung di bangun'—juga baju ganti. Dan lagi, apa iya aku harus mandi di tempat terbuka seperti ini?
Memangnya aku semarga dengan Nawang Wulan yang katanya bidadari tapi mandi di kali itu? Nama memang sudah sama sih, tapi kan tidak ada jaminan.
Aku melihat pantulan diriku di air. Wajahku masih sama, meski ada sedikit noda lumpur di pipiku, aku terlihat seperti memakai riasan tipis natural. Kalau aku bebersih diri, nanti bagaimana dengan make up-ku? Aku baru sadar, aku belum menyentuh air—kecuali minum—dari kemarin.
Jernihnya air sungai membuatku dapat melihat jelas ekosistem didalamnya. Melihat ikan, aku jadi lapar.
Aah, sudah lah. Kenapa semakin ngelantur?
Kulangkahkan kaki menuju salah satu batu besar yang tidak terlalu tinggi di tepi sungai. Melepas satu-persatu aksesoris di tubuhku, melepas sandal gladiator bertali, lalu meletakkan semua itu diatas batu. Begitu ku urai cepolan di kepala kudapati rambutku lebih panjang dari yang sebenarnya aku punya.
Perlahan aku masuk kedalam air. Rasa dingin mulai menjalar ketubuh sejalan dengan kedalaman air yang aku masuki. Oke, aku sudah basah sekarang. Saatnya menyingkirkan lumpur-lumpur di tubuh ini.
Pada dasarnya aku memang gadis yang malas mandi. Jadi setelah merasa cukup bersih dan segar, aku mentas dari dalam air. Duduk di salah satu batu besar yang terkena sinar matahari langsung untuk berjemur, masa bodoh jika nanti kulitku menghitam, yang pasti aku harus mengeringkan baju dan badanku karena tidak ada handuk.
Angin semilir berhembus, membawa kenyamanan tersendiri. Aku merasa damai. Ku rebahkan tubuh, memejamkan mata, menikmati suasana.
Entah sejak kapan aku tertidur. Tapi begitu indra penciumanku yang tajam mengendus bau ikan bakar yang menggoda selera, aku langsung terbangun. Kuedarkan pandangan mencari sumber bau-bau itu. Mataku berhenti tak jauh dari posisiku sekarang. Disana ada Rita menghadap sebuah api unggun yang tidak terlalu besar, sedang asik membolak-balikkan rating kayu dengan ujung dua ekor ikan berukuran sedang.
"Kau sudah bangun?"
Aku beranjak dari tempatku, lalu menghampiri Rita. "Rita?"
Dia tersenyum miring tanpa melihat kearahku. Oh lihatlah, kelakuannya tidak berubah. Dia pasti Rita yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
REBORN
Historical FictionWulan Cahyaningtyas, mahasiswa teknik elektro. Terjebak dalam permainan waktu. Terlahir kembali ke jaman sebelum Nusantara mengenal listrik dan barang elektronik. Terlahir sebagai pelakon yang namanya pernah muncul di buku sejarah waktu SMA. Sayang...