07.17
Ku daratkan sebuah jitakkan ke kepala Udayaditya. Sepertinya cukup keras, dilihat dari responnya yang langsung memegangi tempat aku menjitak.
"Kau itu lawan atau kawan sih?"
Matanya mengerjap mendengar pertanyaanku. Sekali aku mengdengus kesal, kemudian merebut paksa ikan bakar di tangannya. Perutku sudah tidak ada tenaga untuk keroncongan lagi, sudah benar-benar minta di beri asupan.
"Siapa aku?" ujarku, sambil menyemil daging ikan. Tidak ada respon langsung dari Udayaditya. Apa dia masih meragukanku? Oh ayolah, percaya saja kalau temanmu ini hilang ingatan, buat semua ini lebih mudah, Ula. "Setidaknya jangan buat aku mati konyol tanpa tahu identitasku jika kau memang lawan, Udayaditya."
"Kanjeng Putri benar-benar tidak ingat?"
Aku menggeleng mantap sebagai jawabannya.
"Sama sekali?"
Aku mengangguk mantap. "Tunggu-tunggu, aku mendapat firasat akan tersedak mendengar ceritamu, siapkan air minum untukku."
Udayaditya berdiri dari tempat duduknya, mendekati tepian perairan. Aku melihatnya menyatukan kedua telapak tangan, bibirnya merapal sesuatu, dan kemudian sebuah bambu kira-kira sepanjang 50 cm berwarna coklat tua menggantung di perggelangan tangannya secara tiba-tiba.
Tadi pedang, sekarang bambu? Nanti apa lagi?
Setelah mengisi bambunya dengan air, dia kembali bergabung denganku. Aku menyambutnya dengan tepuk tangan.
"Sulapmu bagus. Apa kau juga bisa mengeluarkan kelinci dari blangkon mu?"
Kedua alisnya berkerut mendapati pertanyaan aneh dariku. "Kanjeng Putri mau makan kelinci?"
Yang terdengar selanjutnya adalah gelak tawa mengglegarku. Ternyata Nakula versi jaman bahulah ini sama saja dengan Nakula versi jaman kekinian. Sama-sama perlu diberi injeksi tambahan untuk meningkatkan selera humor!
"Kanjeng Putri?"
Tawaku mereda beberapa saat kemudian. "Bukan. Aku tidak mau kelinci, dua ikan ini sudah cukup. Sekarang mulailah bercerita."
Aku sudah siap mendengarkan sambil terus menyemil ikan yang sudah hampir setengah badan aku makan. Atensiku memang bukan ke arah Udayaditya, jadi aku tidak tahu apa yang membuatnya tak kunjung membuka suara.
"Pramodawardhani," ujarnya pelan.
Sekonyong-konyong aku langsung mematung. Nama itu, aku pernah mendengarnya. Tunggu, itu bukannya nama yang pernah Rita jadi-jadian sebut?
"Kanjeng Gusti Putri Pramodawardhani, putri tunggal Raja Samaratunggal. Pimpinan wangsa Syailendra di Mataram."
Ku telan susah payah daging ikan di dalam mulutku. Aku tidak salah dengar 'kan? Hei rumah siput, kau masih berfungsi dengan baik 'kan?
"Dengan kata lain aku ini putri mahkota kerajaan Mataram." Aku berucap penuh dengan hati-hati. Ku lirik Udayaditya. "Begitu maksudmu?"
Dia menjawab dengan sebuah anggukan.
Ya Tuhan! Mimpi apa aku bereingkarnasi menjadi inces di jaman sejarah seperti ini?! Kenapa bukan menjadi salah satu incesnya Disney saja sekalian?
Aku rela terbang ke arab demi menjadi Yasmin, atau berubah jadi duyung demi menjadi Ariel, atau tidur panjang menunggu pangeran demi menjadi putri salju, atau memiliki ibu dan saudara tiri—eh tunggu. Bukannya hampir semua incesnya Disney pasti menderita di awal cerita? Tapi kan semuanya cantik-cantik—memang sekarang aku tidak cantik?—semuanya berakhir bahagia dengan pangeran tampannya—aku ragu sejarah Indonesia ada yang ceritanya dongeng sekali seperti itu. Tetapi bukan berarti tidak ada kemungkinan 'kan? Jadi—
KAMU SEDANG MEMBACA
REBORN
Historical FictionWulan Cahyaningtyas, mahasiswa teknik elektro. Terjebak dalam permainan waktu. Terlahir kembali ke jaman sebelum Nusantara mengenal listrik dan barang elektronik. Terlahir sebagai pelakon yang namanya pernah muncul di buku sejarah waktu SMA. Sayang...