[📁📊📋]
"Makasi, Nai."
Aku mendongak, kedua ujung alisku bertaut karena ucapan terimakasih yang tiba-tiba diucapkan Aftan.
"Makasi buat apa?"
"Makasi buat sarannya, sangat membantu. Gue seketika dapet pencerahan." Aftan menjawab malu-malu.
"Lah iya? Sama-sama deh kalau gitu."
Pencerahan bagaimana yang disebutkan, Aftan?
Aku merasa kalau saran-saranku sangat payah. Bahkan, orang lain bisa memberinya saran yang lebih bagus (dan tidak terlalu mainstream).
Tapi, ya sudahlah. Toh, dia bilang itu membantunya.
"Lo nggak balik kelas, Nai? Bentar lagi pergantian jam, nih" Kata Aftan setelah melirik jam tangan hitamnya sekilas.
Aku ikut melirik jam tangan biru di tanganku. "Enggak. Gue mau pratikum jamnya Buk Trisna."
"Oh." Aftan membentuk bibirnya menjadi huruf O kecil, lalu ia meraih hoodie abu-abunya dan menyampirkannya di bahu.
Sejurus kemudian, kaki kursi kayu yang didudukinya menggerus lantai dan menimbulkan bunyi yang lumayan nyaring.
Laki-laki itu kini sudah berdiri dari duduknya. "Gue mau balik dulu ya. Ntar jamnya Pak Gama nih."
"Gue doain Pak Gama lebih cepat dateng dibandingkan elo."Kataku tanpa melihat ke arahnya, karena mataku tertarik melihat layar ponsel yang menampilkan chat anak-anak di grup angkatan.
"Jahat amat anjir."
"Eh, Nai."
Aku hanya balas menggumam.
"Lo gimana?"
Aku mengintip dari balik bulu mataku.
Sosok Aftan yang berdiri beberapa jengkal dekat pintu menatapku. Tangan kirinya menjejal ke dalam saku celana panjang abunya.
"Gimana apanya gue?"
"Gue milih bertahan. Trus lo?"
Aku berdeham kecil, "kalau lo lupa, gue udah memutuskan dari lama. Gue milih buat melepaskan."
Tiba-tiba perubahan di kedua sudut bibirnya menciptakan satu senyum menggoda yang menjengkelkan. "Mau gue comblangin sama temen gue, nggak? Dia jomblo nih. Nggak kalah ganteng juga dari Johny!"
Aku mendengus. Nada bicaranya terlalu ceria. "Gue kelihatan sejomblo itu, ya?"
"Wkwk iye."
"Kan biar lo bahagia, Nai." Lanjutnya. Terlihat tulus.
Aku mencoba memikirkan bagaimana diplomasi yang sering kuberikan pada teman-temanku ketika mereka bertanya apa aku bahagia dengan statusku sekarang.
Iya, tanpa Johny.
Aku tersenyum kecil. "Gue bahagia, kok, Af. Well, nggak mesti pacaran untuk bisa membuat diri lo bahagia."
"Iya juga sih." Ia mengangkat bahu sekilas. "Gue balik deh, ya." Tangannya meraih gagang pintu.
''Bye, Nai!''
Aku tidak sempat membalas ucapan Aftan.
Tapi, setelah pintu lab yang berderit karena baru saja dibuka laki-laki itu tertutup. Aku pikir beberapa hal baik akan terjadi setelah ini, untuknya, untuk Aftan.
Aku menghembuskan nafas, tersenyum samar dan memikirkan bagaimana percakapan diantara kami mengalir.
Selamat bertahan, Aftan.
Akhirnya tamat: ")
Thank you untuk vomments kalian di cerita ini💜💜
Kalau kalian suka, kalian bisa share ke tmn2 kalian👍😂Btw, gue berniat membuat spin off dari ss ini. Tapi, di cerita itu make sudut pandangnya Johny. Nggak tau sih jd apa engga wkwk.
Regards, Ari
🌷Sabtu, 27-05-2017🌷
KAMU SEDANG MEMBACA
a little conversation in the laboratory ✔
Short Story❛❛Aftan tidak sengaja bertemu dengan Naisha pada siang yang panas di lab kimia. Lalu, di antara rak-rak yang dipenuhi tabung reaksi, diantara kursi kayu dan meja besi panjang yang dingin, dan diantara segala peralatan membosankan yang hanya disentuh...