Pertempuran

11 1 2
                                    

"Ketakutan yang belum terjadi hanya akan menghambat kebahagiaanmu"

Kediaman Ahnad Sutioso Tanjung pandan-Belitung

Thatiana replek langsung membuka matanya begitu mobil berhenti. Thatiana memandangi bagunan itu. Bangunan di hadapannya ada beberapa rumah dalam satu. Halaman luas berpagar itu, ada sekitar 5 rumah sederhana di lapangan itu yang langsung berhubungan dengan pantai. Itu komplek perumahan keluarganya. Rumah paling ujung yang halaman belakangnya langsung berhadapan dengan pantai adalah rumah ayahnya.

Thatiana sudah lama sekali tidak berkunjung ketempat ini. Tidak bisa di pungkiri jika tiba-tiba rasa rindu menghantam dadanya.

Thatiana berjalan pelan kearah rumah orang tuanya sambil memperhatikan sekitar.

Tidak, Thatiana berusah mendokterin dirinya jika dia tidak bolej menangis. Ibunya datang menghampiri dan memeluknya.

"Akhirnya pulang juga, susah sekali menyuruhmu pulang.

Thatiana hanya membalas pelukan ibunya, tanpa menjawab. Thatiana tidak tahu harus menjawab apa. Mereka canggung.

"Bang edi nanti pulang pas jam makan siang, kanu masuk aja istirahat dulu. Dikamarmu."

"Ibu, ayah dimana ?"  Thatiana tidak menanggapi apa yang dikatakan ibunya. Thatiana malas jika harus memikirkan dia harus menyelesaikan masalahnya dengan bang edi. Nanti saja memikirkan itu. Sekarang dia harus bertemu ayahnya.

"Dibelakang, sedang memandang laut."

Thatiana berjalan menuju halaman belakang rumahnya. Disana disebelah ayunan kayu yang menghadap laut. Thatiana melihatnya, pria cinta pertamanya sedang duduk di atas kursi roda. 5 tahun lalu pria itu cinta pertamanya, ayahnya harus tumbang karena struk dan mengalami kelumpuhan sebelah badannya. Sehingga harus beraktifikas dengan kursi roda.

Thatiana ingin menangis, bahkan saat sang ayah dirawat dirumah sakit Thatiana tidal pernah datang.

"Ayah"
Pria itu menoleh dan tersenyum. Thatiana bersyukur paling tidak pria itu masih mengenalinya itu yang terbaikan.

Thatiana mendekat dan berlutut. Memperhatikan wajah tua ayahnya. Wajah gagah itu sekarang terlihat pucat dan kurus. Thatiana tak bisa menghindarinya hatinya sakit menyaksikan itu.

Thatina menundukan kepalanya di atas pangkuan pria itu. Thatiana mengais tanpa suara. Lama merela hanya saling diam. Thatiana merasakan pria itu mengelus kepalanya secara perlahan.

"Semua akan baik-baik saja sayang." pria itu bergumam, suaranya lirih dan kecil hampir tal terdengar. Thatiana tidak bisa memghentikan isakannya. Dan air mayanya terus keluar.

"Maaf yah, maaf Thatiana bukan anak yang baik." Thatiana masih terisak merasakan tangan lemah itu di kepalanya.

"Tidak nak, kamu masih putriku yang terbaik."

Thatiana masih terisak ketika suara langkah kaki mendekat. Thatiana mengakat kepalanya. Mba lili asisten rumah tangga ibunya datang mendekat dengan takut-takut.

"Maaf Non, di panggil ke dalam kata ibu Bang edi udah datang."

"Oh iya mba. Makasih ya."

Thatiana bangun dan memutar kursi roda ayahnya. "Ayo yah kita masuk."

Ketika Thatian masuk keruang makan, semua keluarganya sudaj berkumpul. Semua abang-abangnya berkumpu. Thatiana tahu dia akan menghadapi pertempuran yang sebenarnya sekarang.

Ketika Thatiana mendekat hanya elvian yang tersenyum dan Riki yang langsung bangun berdiri dan menerjangnya dengan pelukan serta kecupan dipipi.

"Kita akan bicara setelah makan dek." itu suara tegas bang edi, Thatiana tidak ingin merusak suasana jadi Thatiana berusaha menahan diri dan hanya menjawab edinan dengan anggukan kepala.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 19, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The World of ThatianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang