Hujan,
Hujan, begitu sulit dijelaskan, mengapa aku sangat menyukaimu
Kau turun begitu saja, lalu pergi meninggalkan bekas yang indah
Bekas itu adalah pelangi
Pelangi slalu datang setiap kau pergi
Tapi,
Aku juga sedang menangis
Air mataku bagai hujan yang mengalir begitu saja, tapi aku yakin
Setelah hujan dimataku ini, akan ada pelangi yang datang, akan ada kebahagiaan yang sedang di rencanakan.
________
Renata-Gadis dengan rambut hitam panjang menjuntai itu sedang duduk di kamarnya. Menunggu hujan datang, tapi ia kecewa. Berkali-kali mendung tapi hujan tak kunjung datang. Baginya, ada yang kurang jika ia tak bermain hujan.
Dirumah ini-rumah besar ini-ia tinggal bersama Oppa dan Omanya, Kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat, dan itu sudah beberapa tahun yang lalu.
Renata tak mau mengingat kisah kelam yang menyesakkan itu, saat dirinya berumur sepuluh tahun dan ia sudah harus menjadi Yatim-Piatu.
"Aku tak akan pernah menyesal akan takdirku.." Katanya waktu itu—waktu ia tau kecelakaan itu merenggut dua orang yang benar-benar ia sayangi.
Gadis itu menangis, dipelukan Oma-nya. Sejak saat itu, Renata kecil mulai menyendiri—tak ingin melihat dunia luar, bahkan ia sekolah dirumah, guru yang mendatanginya. Bukan ia yang pergi ke sekolah.
Ia hanya keluar apabila hujan turun, menjatuhkan butiran-butiran air, dan menimbulkan warna keabu-abuan di angkasa.
Hanya dibawah hujan ia bisa menangis tanpa ada yang melihatnya, dia tidak punya teman? Tidak, temanya adalah hujan.
Hujan adalah temanku.
RenataPov
Aku kecewa, hujan—temanku tak kunjung datang. Aku ingin menangis lagi, lagi, dan lagi.
Aku rindu Mama dan Papa.
Jika saat itu aku tak meminta bermain hujan, mungkin aku tidak akan sakit dan orang tua ku tidak akan terbang ke indonesia. Mungkin mereka akan baik-baik saja di amsterdam.
Terkadang, aku benci hujan.
Tapi, hujan slalu saja menarikku, mengajakku bermain, mengizinkanku menangis, lagi, lagi dan lagi.
Ini bukan salah hujan-tapi memang aku yang menyukai hujan.
"Renata," Panggil seseorang, Oma.
"Ya, oma?" Kataku, tersenyum lirih.
"Apa yang kamu tunggu?" Kata Oma, suaranya lembut, dan terisak.
Aku hanya mengerutkan bibir. Raut wajahku sedih, aku berpaling lalu menatap jendela.
"Hujan, benar kah?" Lanjutnya.
Aku mengangguk lesu, mengambil fotoku dengan Mama dan Papa saat aku berumur sembilan tahun, saat itu kami sedang liburan ke Vegas, kami bertiga berfoto layaknya sebuah keluarga kecil yang bahagia.
"Jika saat itu aku tidak bermain hujan lalu sakit, maka mama dan papa tak akan kecelakaan kan, Oma?"
"Renata," Ia ikut bersedih juga.
"Kamu bilang tidak akan menyesali takdirmu, kan?"
Ya, benar.
Aku mengangguk lesu.
"Mereka bahagia, kamu tak perlu bersedih sepanjang hari. Ada oma dan opa. Kami tak pernah meninggalkanmu, kamu harus menjalani hidup selayaknya anak-anak sebayamu, Cucuku,"
Butiran air mata itu turun, saat wanita tua yang begitu menyayangiku itu berkata aku harus bahagia layaknya anak-anak lain.
Tapi bagaimana?
Bagaimana aku bisa bahagia, Oma?
*Wazaaapp! Gimana part pertama? Pendek? Typo? Jangan lupa vote dan komen ya oke:*
KAMU SEDANG MEMBACA
Crying
Teen FictionHujan, aku pernah membencimu. Aku pernah sangat membencimu. Tapi, Aku menyukaimu, menyukaimu, menyukaimu, menyukaimu.. Dan selamanya akan tetap seperti itu Kau menyakitiku? Aku tak perduli, Tolong buat aku menderita sekaligus bahagia juga, Hujan. *m...