Mulai muncul perasaan aneh pada diri Faza. Entah perasaan apa itu, ia mulai takut kehilangan Renata. Dan sejak hari itu, dia slalu mencoba mencari tau lebih dalam tentang cewek polos dan sinis itu.
Hari ini, seminggu sudah Renata bersekolah, ia mulai terbiasa dengan suara bising. Bahkan sesekali ia menjadi penyebab suara bisingnya dengan mengobrol, bercanda, atau melakukan apapun. Tapi, ia masih polos. Tak ada yang berubah. Dan dia sudah tidak sedingin pertama kali.
"Ren, nanti pulang bareng, yuk?"
Kata Faza. Mereka sedang menunggu detik-detik bel pulang berbunyi. Dan, Renata sedang tidak mood untuk mengobrol-jadi dia cuma mengangguk.
Bu Sea terus saja menjelaskan materi tentang tata bahasa dan ejaan yang disempurnakan. Guru bahasa indonesia begitu membosakan, beda dengan guru bahasa inggris yang suka bercanda.
Kringgggg...
Bel pulang berbunyi. Tapi, diluar hujan. Kebanyakan anak berteduh di sekitar koridor sekolah. Renata yang sedari tadi lesuh ini pun menjadi ceria. Ia berjalan kegeombolan anak yang sedang meneduh lalu berlari ke arah gerbang.
Hujan membasahi seragamnya. Tari yang melihatnya merasa aneh. Ia memutar bola mata ketika melihat Renata yang bersikap kekanak-kanakan itu.
Sementara itu, Faza mencari-cari Renata di kerumunan murid-murid.
Kakak kelas yang melihat Renata menganggapnya gila-sampai Faza datang dan menariknya, mengalihfungsikan jaket kulitnya sebagai payung."Ren, semua orang berfikir kalau lo orang gila, jangan main hujan disini!" Kata Faza.
Renata mengerucutkan bibirnya.
"Aku nggak butuh ini, kamu aja!"
Renata menyingkirkan jaket kulit Faza dari kepalanya, berlari keluar gerbang lalu Faza mengejar Renata yang mendahuluinya.
"Jadi inget kemarin," Kata Faza yang mencoba menyeimbangkan tubuhnya agar berada di samping Renata.
"Kamu kan nggak suka hujan!" Kata Renata.
"Semenjak kenal lo, gue suka hujan,"
Renata tersenyum getir. Menari-nari dibawah derasnya hujan. Tak perduli ocehan orang yang melihatnya.
"Dulu aku juga benci hujan,"
"Lo? Benci hujan? Kenapa?"
Mereka memasuki kawasan komplek. Lalu mereka mampir di salah satu kafe roti bakar. Renata menggesek-gesekan tanganya lalu meletakanya dipipi. Badan mereka setengah kering.
"Karna hujan, orang tuaku meninggal,"
Faza bingung. Harusnya, Renata membenci hujan sekarang, bukan malah menyukai hujan. Faza mengernyir.
"Bukan salah hujan, tapi salahku yang terlalu menyukai hujan,"
"Boleh nggak ceritain ke gue?"
Renata mendatarkan bibirnya. Matanya berkaca-kaca. Ia mengingat kejadian beberapa tahun silam.
"Iya.." ujarnya sedikit terisak.
"Dulu, aku suka banget hujan. Setiap ada hujan, aku pasti akan slalu bermain hujan-hujanan. Hari itu, aku main hujan-hujanan dan demam. Oma nelpon mama dan papa di amsterdam. Karna panik, mereka langsung terbang ke indo, tapi sayangnya.. Pesawat mereka jatuh ke laut..." Renata terisak. Bulir air matanya jatuh. Ia memandang keluar enggan menatap Faza. Hujan deras masih belum mereda. Dan ini pertama kalinya ia menceritakan ini kepada orang lain.
"Ren," Ujar Faza merasa bersalah.
"Gue nggak bermaksud buat bikin lo sedih tapi-"
Renata mencoba tersenyum. Menatap Faza lekat-lekat sementara air matanya masih turun seiring derasnya air hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crying
Teen FictionHujan, aku pernah membencimu. Aku pernah sangat membencimu. Tapi, Aku menyukaimu, menyukaimu, menyukaimu, menyukaimu.. Dan selamanya akan tetap seperti itu Kau menyakitiku? Aku tak perduli, Tolong buat aku menderita sekaligus bahagia juga, Hujan. *m...