Bintang melangkahkan kakinya memasuki rumah yang sudah --hampir-- ia tempati selama 17 tahun itu.
"Assalamualaikum, orang cantik pulang!" Teriaknya dengan cengiran khasnya.
"Walaikumsalam," jawab pria paruh baya yang tengah duduk di sofa ruang keluarga dengan koran di tangannya.
Gadis itu medekati sang Ayah dan menyalimi tangannya, lalu duduk di samping Cahyo --sang Ayah.
"Pulang sama siapa, dek?" Tanyanya.
Bintang yang semula sedang membuka sepatu serta kaos kaki itu mendongakkan kepalanya menatap sang Ayah.
"Angka," jawabnya dengan muka datar.
"Siapa? Gebetan baru?"
"Ish. Apaan dah, Yah."
Cahyo terkekeh, lalu meletakkan korannya di atas meja. "Siapa tahu,"
"Ayah kebiasaan, lawak mulu."
Cahyo bisa di bilang sebagai Ayah yang humoris. Umurnya yang sudah mencapai kepala lima tidak membuatnya menjadikan masalah. Ia memang dekat dengan Bintang, karena Bintang adalah anak perempuan satu-satunya yang paling berharga setelah Diana --istrinya.
Hanya tinggal Bintang dan Raditlah yang masih menetap di rumah minimalis yang tidak terlalu mewah ini.
Karena anak pertama dan kedua sudah menikah dan tinggal bersama istri dan anaknya, serta anak keempat dan kelima yang sedang kuliah memilih nge-kost dikarenakan jarak rumah dengan kampus yang jauh.
"Buru deh sana mandi, terus sholat. Udah mau jam lima tuh." Cahyo mengelus puncak kepala anak perempuannya dengan sayang.
Gadis yang semula sedang meninum kopi milik Cahyo itu kini mendongakkan kepalanya dan melihat kearah jam dinding yang berada di atas TV LCD.
Ia mengangguk lalu beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamarnya berada.
***
Hujanpun telah reda, awan yang menangis sudah berganti senja yang membawa ketenangan. Namun tidak dengan laki-laki berbadan tegap yang kini duduk di antara rerumputan makam yang agak becek. Masa bodo dengan seragamnya yang kotor dan basah karena genangan air. Ia tak peduli.Air matanya terbendung di pelupuk mata. Di usapnya nisan yang terpampang nama seseorang yang paling di sayanginya seumur hidupnya itu.
"Assalamuaikum, Gaga kesini lagi, Mah." Air matanya mengalir membasahi pipi. Membuka memori lama tak semudah membuka buku.
Hatinya pilu. Mengingat seseorang paling berharganya telah pergi dari dunia ini, rasanya takdir telah mempermainkannya.
"Gaga udah kayak gembel Mah, gak ke urus sama sekali. Kak Ayu sama bang Ardi udah nikah, Mah. Gaga sekarang tinggal sama Rafa dan Rifa. Mereka udah SMA, sama kayak Gaga. Cuman mereka kelas sepuluh, Gaga kelas dua belas," jelasnya.
Hening.
Selalu seperti itu jika ia kesini. Hanya suara angin dan burung yang mempersunyi pemakaman.
Ia rindu dengan sosok itu, sosok yang selalu memberikan semangat, yang selalu memberikan senyuman indahnya di pagi hari, memberikan ketenangan, namun semua itu sudah tidak ada lagi.
"Dia gila kehormatan, Mah." Suaranya menyerak. Isakan-isakan kecil keluar dari mulutnya.
Angkasa tersenyum miris. Di hapusnya matanya yang berair. "Gaga sama yang lain di telantarin, dia pindah gak tahu kemana."
"Udah mau maghrib. Gaga pulang dulu, ya, Assalamualaikum. I love you."
***
"Bang Gaga dari mana?"Angkasa turun dari motornya dan berjalan menuju pintu utama. Adik bungsunya sudah berdiri bersandar di pintu dengan tangan bersidekap di depan dada.
Cowok itu tersenyum seraya melepas jaket kulitnya. "Makam."
"Kok gak ngajak Rifa?" Posisinya berubah menjadi berdiri tegap.
"Tadi abang anterin Bintang dulu kerumahnya di suruh Radit. Terus pulangnya langsung kesana,"
"Cieee mulai deket sama bu Ketos," Ejeknya dengan tangan menuding ke arah Angkasa.
Angkasa mendengus malas. "Apaan sih, udah awas abang mau mandi. Kamu udah masak belum? Abang laper per per, nih,"
"Udah ya, dari jam empat aku masak."
"Ya udah awas, abang mau masuk."
Ia memasuki rumahnya dan langsung berjalan menuju kamarnya. Di bukanya pintu kayu yang bercat coklat itu. Angkasa menghembuskan nafasnya lelah.
Di tutupnya kembali pintu itu. Kamar dengan nuansa abu-abu putih itu terlihat begitu sunyi. Dingin dari Air Conditioner membuat Angkasa merinding.
Kakinya melangkah ke arah kamar mandi.
"Bang Gaga udah pulang?" Tanya Rafa.
Rifa yang semula sedang menata makanan di atas meja makan lantas menganggukkan kepalanya. "Dia lagi mandi,"
"Masak apa, dek?"
"Kesukaan L sama bang Gaga,"
"Wah enak donk," ujarnya riang.
"Iyalah siapa dulu, Rifa." Ujarnya menyombongkan diri.
"Songong," sahut Angkasa yang berjalan ke arah meja makan menghampiri kedua adiknya.
Gadis itu terkekeh, lalu meletakkan ikan goreng balado yang baru di hangatkannya tadi di atas meja makan.
"Wah Ayam bakar!" Angkasa berteriak layaknya bocah TK.
"Bocah,"
Angkasa memandang Rafa dengan sinis.
Rifa mendengus sebal. "Makan, vroh!" Teriaknya.
"Eh iya, ibu kost udah marah,"
Senyum Angkasa mengembang. Suasana meja makan kali ini menghangat. Rifa sang bungsu selalu membuat suasana meja makan ramai. Walaupun hanya tiga orang.
Angkasa bersyukur mempunyai adik-adik yang bisa mengerti dirinya dan masih mau berada di dekatnya sekalipun ia sedang di landa keterpurukkan.
'Gue gak tau mau bilang apa lagi, ini udah dari rasa bahagia gue, lihat mereka berdua aja udah bikin hati gue hangat. Mah Angkasa janji bakal nepatin janji mamah buat jagain mereka.'
***
Sedikit ya?
Gimana lagi gue kehilangan ide, udah sukur gue update.
Udah bulan puasa aja ya, gue minta maaf sebesar-besarnya sama para readers setia gue yang masih mau nunggu gue update cerita ini.
Ok, jangan lupa vote dan comment.
Salam,
Laksa
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa vs Bintang
Ficção AdolescenteAngkasa si Badboy SMA Garuda. Yang tidak suka rokok dan alkohol. Menjahili Bintang adalah hobinya. Kalau melihat Bintang tersenyum bagaikan melihat senja di sore hari setelah hujan. Indah, namun hanya sesaat. Bintang si Ketua Osis SMA Garuda. Gadis...