2.8K 417 25
                                    

"Dasar anak penyihir!"

Bebatuan berukuran kecil hingga sedang dihujamkan pada anak lelaki itu. Sudah cukup lama anak itu meringkuk melindungi tubuhnya. Memar dan luka terpapar jelas di permukaan kulitnya yang kusam. Mau seberapa keras ia berusaha menjelaskan, para penduduk tak akan mengubah persepsi mereka yang menganggapnya sebagai anak penyihir yang mengerikan. Tatapan benci juga pandangan menjijikan serta cibiran yang mencemooh diterimanya hampir setiap hari. Terkadang, jika ia tidak beruntung, anak-anak seusianya akan melempari bebatuan maupun kerikil dan mengolok-oloknya seperti saat ini. Tak ada yang menolong, tak ada yang bisa ia perbuat.

"Hentikan!!"

Satu suara diikuti munculnya sosok anak lelaki lainnya dari balik pohon menghentikan keadaan. Dengan berani ia melangkah dan menghentak, berdiri membelakangi si 'anak penyihir' dan merentangkan tangan lebar-lebar. Wajah bulatnya yang manis membuat mimik seperti orang yang sedang marah, tidak benar-benar menyeramkan memang, tapi keberadaannya berhasil membuat tiga anak pelempar batu itu melangkah mundur sebelum berlari menjauh.

Anak manis itu berbalik, menatap kasihan pada tubuh meringkuk yang gemetar ketakutan di atas tanah. Ia berjongkok, mengusap kepala anak itu perlahan. Ajaran sang ibu setiap kali ia merasa kesakitan.

"Tenanglah, mereka tidak akan mengganggumu lagi,"

Anak berpenampilan kumal itu menatapnya lurus. Tentu saja tak ada yang berani melawan keturunan kepala desa yang dijunjung tinggi.

"Kau bisa berteman denganku kalau mau,"
Suara lembut yang diiringi senyum tulus itu membuat parasnya semakin manis. Debaran halus dirasakannya, menjalar hangat ke seluruh tubuhnya yang penuh luka. Tidak pernah ada seorangpun yang melakukan ini terhadapnya, bahkan kedua orang tuanya sendiri.

Diliriknya tangan kecil yang terulur untuknya, menunggu untuk saling berjabat sebagai bentuk awal persahabatan mereka. Anak manis ini mengajukan sebuah hubungan dengannya, bolehkah ia berharap? Ia ingin punya teman, ia ingin memiliki seseorang di sampingnya, ia ingin sebuah ikatan...

Gemetar ia menyambut uluran tangan itu. Jantungnya semakin berdegup cepat dan dalam hati ia berharap bahwa suaranya tidak terdengar. Ia tidak ingin anak ini menganggapnya aneh dan membatalkan ikatan mereka lalu menjauh. Ia tidak mau...
"Namaku Oon,"

"N-Namaku....,"

.

.

.

.

.

"Mungkin ia perokok akut," Em mencoba mencari alasan yang memungkinkan untuk keadaan organ subjek yang terlihat hangus terbakar.

"Ya, kalau ia menghabiskan sepuluh batang rokok perhari dalam tiga puluh tahun hidupnya,"

"Umurnya baru memasuki kepala dua, kecuali kalau memang ia merokok sejak lahir! Dan tidak hanya paru-paru, tapi organ dalam yang lain pun menghitam seperti itu,"

Kepala Arthit berkedut pening. Ia lalu memutuskan pembuluh vena dan membawa jantung subjek keluar rongga tubuh, ada yang salah pada organ ini, ada banyak bekas sayat yang melintang di perikardium.

"Bekas operasi?"

Arthit menggeleng saat ditanya Em. Ia menunjuk bagian terluar organ organ lainnya. Meskipun warnanya hitam, luka sayat ini dapat dilihat dengan jelas. Melintang tak beraturan seperti garis-garis tipis berukuran kecil.

The AutopsyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang