2.5K 405 61
                                    

What would I give to live where you are?
What would I pay to stay here beside you?
What would I do to see you smiling at me?
Where would we walk, where would we run
If we could stay all day in the sun...
Just you and me and I could be part of your world..

***

"Kemarilah Oon,"

Kongpob berseru dari atas bukit, melambaikan tangannya pada Arthit, cerah di wajahnya menunjukan kebahagiaan. Tak sabar, ia menapak turun dan menarik Arthit untuk segera mengikutinya.

"Ada apa sebenarnya, Kongpob?"  tanya Arthit tertawa geli melihat betapa antusiasnya pemuda itu.
Kongpob hanya memamerkan senyum tiga jarinya yang menawan. Ia lalu memberitahu bahwa ada kejutan yang menanti Arthit di balik bukit ini.

Angin berhembus lembut, langit jernih berwarna biru dengan gumpalan awan yang tampak beriringan. Hamparan hijau asri menguasai sejauh mata  memandang, barisan pepohonan membatasi hilir sungai kecil, di sisi kanan ada rumput dengan tinggi sebatas pinggang orang dewasa, tumbuh liar bersama ilalang. Sisi lainnya tampak sepetak kebun bunga matahari. Tak jauh dari sana sebatang besar pohon Ek  yang rindang berdiri dengan satu ayunan balok yang tergantung di salah satu dahannya.

Pemandangan yang luar biasa indah ini jelas membuat Arthit terpesona, Kongpob senang melihat reaksi pemuda ini. Ia lalu menambahkan, "Aku yang menanam bunga mataharinya," ujarnya dengan bangga.

Kongpob menemukan tempat yang menakjubkan ini ketika ia mencoba menghindar dari kejaran anak-anak yang mengoloknya. Ia terus berlari dan secara tak sadar sampai kemari dan mulai menanam bunga matahari itu sejak hari pertama ia bertemu dengan Arthit.

"Indah sekali, Kong,"

Guratan puas terukir di wajahnya yang tampan saat mendengar pujian dari orang tersayangnya. Ia mengambil satu tangan Arthit untuk digenggam di sisi tubuhnya. Takjub pada mahakarya di hadapannya membuat Arthit tak sadar dan Kongpob tersenyum semakin lebar merasakan tak ada penolakan darinya.

"Aku akan membangun rumah di sana... untuk masa depanku," Arthit masih tak menyadari semburat merah tipis yang muncul saat Kongpob mengatakannya.

Arthit mengangguk, "Kau akan membangun keluarga yang bahagia, Kongpob,"

"Keluarga yang kumiliki hanya dirimu Oon,"

Arhit menoleh, merasa kalau pendengarannya kurang berfungsi dengan baik.

"Aku ingin tinggal bersama Oon selamanya,"

Secepat itupula senyum Arthit memudar. Cibiran para penduduk, peringatan sang ayah dan semua dugaan-dugaannya ternyata benar adanya. Apa yang harus ia lakukan untuk menjawab perasaan pemuda yang sudah ia anggap sahabat dan saudaranya ini?

Ia menguatkan hati, kesalahpahaman ini harus segera diluruskan.  Kongpob tidak boleh selalu bergantung padanya. Tidak sadarkah ia pada barisan gadis cantik di desa mereka yang rela mengantri untuk sekedar berjalan bersisian dengannya? Meskipun begitu, Arthit tak bisa menyalahkan Kongpob sepenuhnya, perbuatan penduduk terhadapnya dulu membuat Kongpob enggan membuka diri selain kepadanya. Kongpob tumbuh menjadi perangai yang dingin dan pribadi yang acuh tak acuh, kecuali pada Arthit.

The AutopsyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang