2.9K 410 27
                                    

"Tunggulah, akan kupastikan kita akan bertemu lagi.."

.

.

.

.

.

"Kau tidak perlu di sini, Em,"

"Tidak pantas kalau aku meninggalkan P'Arthit sendiri yang mengerjakannya," Em membantu membuka body bag itu seluruhnya, ia lalu menopang kaki (sementara Arthit menopang pada bagian kepala dan bahu) tubuh itu dan mengangkatnya bersama ke atas meja otopsi dalam aba-aba yang ditentukan. "Lihat, kau tidak bisa mengerjakannya sendirian, P'. Tanpa Diener dan fotografi otopsi bagaimana kau melakukannya? Kau butuh bantuanku,"

Arthit menghela nafas. "Maaf ya, padahal kau ada janji kencan,"

Em ikut mendengus pasrah. Bagaimana lagi? Ia sudah memilih pekerjaan ini dan harus bertanggung jawab dengan kewajibannya. "Tak apa P'Arthit, waktu janjianku masih cukup lama. Kalau kita kerjakan sekarang dan bersama-sama akan lebih cepat menyelesaikannya,"

Arthit mengangguk lalu berjalan ke arah meja kecil di sudut ruangan. Ada beberapa kertas tak terpakai  dan sebuah radio lama di atasnya. Adalah kebiasaan Arthit untuk mendengarkan lagu saat mengerjakan tugasnya.

Pull the trigger
Shoot to thrill play to kill
Too many women too many pills, yeah!!
Shoot to thrill play to kill
I got my gun at the ready gonna fire at will 🎶

Lantunan AC/DC yang beraliran rock menggema. Arthit memakai sarung tangan karet putih seraya menghentak-hentakan kepalanya menikmati irama musik, mau tak mau Em tertawa pelan melihat seniornya itu.

"Terkadang aku heran dengan kebiasaanmu mendengarkan musik, P'"

"Tak ada yang aneh dari itu, Nong,"

"Aneh karena kau mendengarkan musik tipe rock seperti ini,"

Arthit menoleh, "Kau tidak pernah  melihat Tony Stark yang kharismatik mendengarkan musik rock saat bekerja?"

Em mendirikan tripod dan menaruh kamera perekam di atasnya. Mengaturnya sebaik mungkin untuk kebutuhan bukti laporan mereka nanti. "Tony Stark mendengarkan musik rock saat membuat Iron Man suitnya, sedangkau Kau, P'Arthit, mendengarkannya saat tengah membedah orang mati."

Arthit tak ambil peduli. Ia mengambil sepasang sarung tangan karet lagi dan melemparkannya kepada Em. Ia lalu berdiri menghadap kamera perekam.

"Ini adalah otopsi dari laki-laki tak dikenal, subjek 0062. Aku, Arthit Rojnapat, patalog forensik yang akan mengautopsinya. Aku akan dibantu oleh Em, teknisi otopsi yang bersetifikasi," Arthit mendekati meja otopsi, memutarinya. "Otopsi akan dilakukan dalam tiga tahapan. Pertama dimulai dari evaluasi ekstenal, diikuti dengan evaluasi internal dan untuk yang terakhir adalah evaluasi otak mayat. Teknik otopsi yang dilakukan adalah Virchow Autopsy,"

Teknik otopsi yang dilakukan dengan cara membuka rongga tubuh, lalu organ-organ dalam dikeluarkan satu persatu dan langsung diperiksa. Arthit memilihnya karena ini adalah teknik tercepat yang bisa mereka lakukan saat ini. Terlebih permintaan Knott yang menginginkan laporan secepat mungkin.

"Subjek berusia awal dua puluhan, tinggi tubuh seratus tujuh puluh delapan sentimeter, berat enam puluh kilogram. Warna kulit light tan,"

Em mengambil foto tubuh itu dari segala sudut. Arthit kembali memerhatikan sosok di hadapannya, ada perasaan aneh saat melihatnya. Bukan, bukan perasaan berdebar senang. Ia bukan orang gila yang punya kelainan mental untuk menyukai mayat yang harus di otopsinya sendiri.

The AutopsyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang