5

2.4K 396 44
                                    

I desire to be with  you. I am obsessed with you, fascinated by you, infatuated with you. I hunger for your taste, your smell, the feel of your soul touching mine. Even when I'm dead, I'll swim through the Earth just to be next to your bones.

All extremes of feeling are allied with madness

.

.

.

.

.

Subjek 0062 masih hidup.


"Ini semua tidak masuk akal!"

"Ini gila, P'Arthit!!" seru Em. Ia meremas rambutnya kuat. "Setelah apa yang kita lakukan hingga sekarang dan ia masih hidup?! Kita sudah membedahnya, membuka rongga tubuhnya, mematahkan rusuknya, melepas organ dalamnya satu persatu bahkan membuka tempurung kepalanya! Dan itu tanpa anestesi! Bagaimana ini bisa terjadi?!"

"Aku pun tidak mengerti Em!! Aku tidak tahu apapun!" sanggah Arthit yang sama frustasinya dengan Em.

"Mu-mungkinkah dia ha-hantu, P?" Em menatap Arthit cemas yang lalu dibalas seniornya dengan dengusan mencemooh.

"Kau pikir partikel makhluk sejenis hantu itu memiliki komposisi padat sepertinya?" Arthit menunjuk tubuh subjek,

"Mereka tidak senyata tubuh itu!" katanya menambahkan. Arthit berpikir keras, ini memang tidak masuk di akal, diluar pengetahuan manusia, diluar abnormalitas. Satu-satunya yang bisa Arthit pikirkan adalah kekuatan tak kasat mata yang diluar jangkauan manusia biasa. Arthit tidak memikirkan kekuatan yang biasa diimajinasikan anak-anak tentang manusia super, tapi lebih kepada kekuatan mistis dari alam yang lain. Terlebih setelah menemukan potongan kain bergambar diagram itu. Memang terasa konyol, tapi hal-hal seperti itu masih ada dan tertanam kuat dalam kepercayaan masyarakat bahkan ketika zaman sudah memasuki masa modern seperti sekarang ini. Yang jelas subjek 0062 bukanlah hantu, ia memang 'berbeda' tapi apa yang salah Arthit masih belum mengetahuinya.

Lampu ruangan berkedip lagi, kali ini mampu membuat Em melonjak kaget. Keringat dingin membasahi pelipisnya. 

"P'Arthit, ayo kita keluar saja, kita minta bantuan yang lainnya!" seru Em dengan suara yang parau.

Arthit mengangguk. Tanpa diperintah, ia juga akan lebih memilih keluar dari sini, meninggalkan tubuh itu jauh-jauh, dan menyerahkannya ke tangan yang lebih mampu untuk memeriksa.

Terburu Arthit dan Em mengambil kain putih, melebarkannya untuk menutupi tubuh yang masih terbuka di sana-sini. Arthit sudah tak peduli lagi. Mereka lalu beralih menuju pintu, Arthit mendorongnya, tak terbuka. Ia mengeryit heran lalu ditariknya pintu itu cepat, tak terbuka. Jantungnya berdegup, diputarnya kunci pintu berkali-kali, pintu tetap tak terbuka.

"Kenapa bisa terkunci seperti ini?!" panik mulai menyerang.

Arthit dan Em bergantian mencoba mendobrak pintu paksa. Pintu itu tetap tak terbuka, bahkan bisa dikatakan tak bergerak barang sedikit pun. Bahu mereka sakit, tapi mereka tidak menyerah sampai secara tiba-tiba kain putih yang digunakan sebagai penutup tubuh subjek itu terhempas begitu saja.

"P'ARTHIT!!!" teriak Em ketakutan.

Arthit kembali mendorong pintu sekuat tenaga, tapi benda itu tak kunjung terbuka, "Sialan!" ia mengumpat, kakinya menendang daun pintu keras berkali-kali, melepas emosi. Arthit menyisir rambutnya ke belakang, ia berkeringat tapi tubuhnya menggigil karena suhu yang mendadak berubah dingin.

"Kita harus menyelesaikan otopsi ini," ujar Arthit hampir tak terdengar. Em menggeleng cepat. Ia sudah ketakutan setengah mati dan ia tak akan mau menyentuh tubuh itu lagi. Arthit memilih untuk menyetujui Em dengan alasan yang sama.

Tapi bagaimana cara menghadapi masalah ini? Arthit berjalan mendekati lemari buku untuk membaca sekali lagi, mencoba mencari petunjuk lain. Em mengikuti di belakangnya. Sama seperti Arthit, meskipun ia ketakutan, otaknya berpikir cepat untuk mencari cara keluar dari masalah ini. Perhatiannya tertuju pada kain bergambar diagram yang terabaikan, apakah ada rahasia lainnya yang tersembunyi di sana? Ia membersihkan meja preparat dan menaruh kainnya di sana. Mengabaikan Arthit yang masih sibuk membolak-balik halaman buku tebal itu, Em dengan seksama memeriksa serat kain itu. Em menghela nafas, bahkan dengan mikroskop ia tak menemukan apapun. Noda darah pada kain sudah ia periksa dan dapat dipastikan bahwa bekas itu sama dengan plasma darah milik subjek. Pemuda itu lalu menarik kembali kain tersebut, dibawanya mendekati cahaya lampu meja, menerawanginya.

Em mengeryit. Di kain ini tidak hanya bergambar diagram saja, tapi ada tulisan-tulisan terputus yang tidak begitu jelas untuk dibaca. Kira-kira apa artinya? Namun, tak lama setelah itu, Em memikirkan suatu ide untuk dicoba. Ia menaruh kain itu di atas meja. Diperhatikannya sekali lagi tulisan yang tidak begitu jelas itu lagi, tangannya bergerak untuk melipat kain itu menjadi dua. Tidak ada artinya. Ia lalu mencoba melipat keempat sudut sisinya ke dalam, Em melebarkan matanya, tulisan itu sekarang menjadi jelas, Em bahkan bisa membacanya karena itu merupakan tulisan thai biasa.

Ada angka... ada tahun juga di sana. 1866.

Em tidak mengerti, tapi keping matanya tak berhenti membaca. Ada dua kata di tengah setiap sudut yang bergabung, saat itulah ia terkejut bukan kepalang. Bukan pada nama pertama yang memang tidak ia ketahui siapa, tapi ia terkejut pada nama kedua seseorang yang jelas-jelas ia kenal dengan baik.

"P'.. kemarilah sebentar,"

Arthit mencoba menghiraukannya dan tetap memfokuskan diri untuk membaca, tapi Em kembali memanggilnya, kali ini dengan suara yang sedikit memaksa. Arthit pun mendekati juniornya itu, Em dengan wajah yang semakin pias menyerahkan kain bergambar diagram itu. Arthit sama sekali tak mengerti, tapi Em tak membiarkannya bertanya lebih lanjut dan dengan cepat melipat kain itu hingga seniornya bisa melihat dengan jelas.

1866

Kongpob - Arthit

Lampu ruangan padam.

***

***

***

A/N: Chapter ini pendek! Iya, aku tau kok. Mungkin chapter selanjutnya adalah chapter terakhir.

Memang telat, tapi, Mohon maaf lahir batin! Selamat menunaikan ibadah puasa untuk yang menjalankannya. Buka asupan setelah magrib ya~ *ajaransesat*

Sampai jumpa lagi!

The AutopsyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang