2.5K 401 37
                                    

They have all fooled us,
Now we have to decide another plan

If you keep knocking the Devil's door, sooner or later He'll invite you in.

.

.

.

.

.

"Aku melakukan semua ini untukmu, untuk kita!"

Pemuda tampan itu berteriak, mencoba memanggil orang yang dicintainya yang masih terduduk di antara lengketnya genangan darah, menutupi wajahnya seraya menangis dalam diam. Takdir menghempasnya begitu kejam.

"Kongpob, kumohon..,"

Kongpob tak mendengarkan. Beberapa penduduk menggebrak pintu memaksa masuk. Serentak mereka menangkap tubuh Kongpob. Pemuda itu mencoba perlawanan, ia memberontak sekuat tenaga. Salah seorang penduduk mencengkram dua bahunya keras, mendudukannya paksa di atas tanah yang dingin. Dipukulnya wajah pemuda itu berkali-kali, tapi Kongpob tak menyerah, dengan wajah lebam membiru dan bibir yang terobek ia melirik tajam para penduduk satu persatu, meludah di salah satu di antara mereka hanya untuk mendapat satu pukulan lagi di perutnya.

"Kalian bedebah brengsek yang memisahkan kami!"

Arthit menangis lebih keras. Kongpob mengalihkan perhatiannya pada pemuda itu. "Jangan khawatir Oon, aku akan mencari cara agar kita bisa bersama, jangan pikirkan mereka yang tidak mengerti perasaan kita,"

"Tak tau diri!!" Sahut penduduk dengan suara lantang.

"Tarik dia keluar! Kita beri hukuman yang pantas untuknya!!" Ayah Arthit berseru memerintah yang langsung disetujui para penduduk lainnya.

"Oon... Oon.. jangan menangis,"

Kongpob masih mencoba untuk memberontak, ia ingin melihat kekasihnya. Tidak, ia berjanji ini bukan kali terakhir mereka bertemu, karena itu ia tidak ingin melihat Arthit menangis. Tubuhnya di tarik keluar, penduduk menyeretnya kasar di tanah tak peduli goresan permukaannya membuat luka perih di sekujur tubuhnya. Tangan dan kakinya bergerak meronta, penduduk yang semakin geram mengikatnya, menarik simpul tali tambang kuat-kuat. Pergelangan tangan memerah, tergores, semakin ia ditarik semakin simpul itu mencengkramnya kuat hingga meremukan persendiannya.

"Tunggulah Oon, akan kupastikan kita bertemu lagi!!," tubuhnya sakit, tapi ia masih menyempatkan diri memanggil kekasihnya meski dengan suara serak.

Tubuhnya dipukuli lagi, ayah Arthit mengambil sesuatu dari kantung celananya, robekan kain bergambar diagram. "Kau tau apa ini?!"

"Kau tidak akan bisa memisahkanku dan Oon." Tegasnya tak menjawab pertanyaan.

Sang kepala desa menggeram, amarah memuncak, beraninya laki-laki ini mendekati putra sulungnya! Ia muak dengan iris hitam yang memandangnya tanpa rasa hormat sedikitpun. Laki-laki kurang ajar. Seharusnya ia memisahkan mereka sejak dulu, seharusnya ia tidak membiarkan Arthit menolongnya, berteman dengannya kalau akhirnya akan seperti ini. Tamparan keras dilayangkannya.

The AutopsyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang