09

6.1K 823 126
                                    

Seharusnya aku sudah bertemu dengan Park Jimin, lelaki bodoh yang membiarkan buronan sepertiku bebas berkeliaran. Aku tidak pernah tahu apa yang ada dipikiran Jimin ketika dia memutuskan untuk melepaskanku sebagai alasan untuk kerja sama kami. Oke, aku tahu keputusanku beberapa hari yang lalu memang memalukan. Menuduh Jimin atas kejadian yang menimpa Joy dan Yerim? Kau memang bodoh, Kang Seulgi.

Tubuhku menggigil kedinginan. Tentu saja sebagai gadis bodoh aku hanya memakai baju tipis dan meninggalkan jaketku di mobil yang telah kuparkir sangat jauh dari tempat pertemuan dengan Jimin. Kucoba untuk menahan diri, but hell yeah, angin malam benar-benar menusuk tubuhku yang kelelahkan selama beberapa hari terakhir. Dan akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke dalam Pasific Pool. Bau menyengat alkohol bercampur rokok seketika menyeruak kedalam penciumanku. Aku sedikit terbatuk dan mencoba untuk menghilangkan asap rokok yang dihembuskan oleh lelaki tak berperasaan terhadap gadis lemah sepertiku.

Sebenarnya aku sangat dongkol saat ini. Sesuai dengan perjanjian yang kubuat secara sepihak, Jimin terlambat tujuh menit dan aku masih dengan sabar menunggunya. Bukan apa, aku bukanlah tipe orang yang senang menunggu orang lain. Aku sangat menjunjung tinggi ketepatan waktu. Kalian pasti bergumam tentang siang tempo hari dimana aku terlambat dua jam dari perjanjian dengan polisi Jimin itu. Aku melakukannya dengan sengaja. Aku harus membuktikan sejauh mana Jimin serius dengan perjanjiannya padaku saat itu karena aku tidak bekerja dengan sembarang orang, terutama aparat keamanan.

"Fuck Jimin, you're gonna regret it later!" gumamku sedikit keras. Bartender yang sedang membuka penutup whiskey sedikit mengalihkan wajahnya padaku dan kubalas dengan delikan sinis. Aku sangat tidak dalam mood yang bagus. Bahkan minuman yang kupesan sebelum belum kusentuh sama sekali. Dan lihatlah! Ini sudah hampir setengah jam aku menunggu Park Jimin Sialan yang belum juga nampak.

"This fucker..."

Barulah saat aku telah mengumpat untuk yang kesekian kalinya, siluet Jimin nampak dari kerumunan orang-orang. Ia terlihat sedikit celingukan sampai akhirnya ia melihatku duduk di bar dengan wajah yang tak bersahabat. Lelaki itu mengulas sedikit senyum kikuknya.

"Hei, apa kau―"

"Aku menunggu selama tiga puluh menit, Sialan!" potongku. Jimin sedikit terkejut lalu menggumamkan, "Maaf..."

Aku sebenarnya masih ingin marah, tapi ya sudahlah lagipula Jimin telah berada disini. Hanya akan memakan waktu jika aku masih ingin melanjutkan kekesalanku.

"Aku mau kita bekerja sama," kataku langsung. Kutolehkan wajahku pada Jimin yang masih terdiam namun keningnya mengeryit sedikit.

"Bukankah kita memang telah sepakat?" Setelah sedikit lama lelaki itu berdiam, akhirnya ia menggucapkan kalimat tak berguna untukku. Bodoh.

Kuputar mataku dengan malas. "Maksudku, mulai saat ini kita melakukannya. Kerja sama itu." Jimin baru terlihat mengerti setelah kuucapkan kalimat barusan. Tunggu, sepertinya terdapat kesalahan disini. Entah ini aku atau Jimin yang bodoh, tapi aku merasa bahwa aku mengatakan hal yang tak perlu dikatakan. Lupakan.

"Kukira kau sudah tak berniat lagi untuk melakukan kerja sama denganku."

Seiring dengan Jimin mengatakan hal tersebut, kulirikkan mataku menatapnya dengan malas. Wajah lelaki itu terlihat sombong bagiku, walaupun sebenarnya Jimin memandangku dengan biasa. "Aku minta maaf, oke?" ucapku dengan setengah hati.

"Aku sangat kacau saat itu dan tidak bisa berfikir panjang," lanjutku lagi. Bisa kudengar sedikit tawa dari Jimin. "Kau mengatakan kau kacau namun kau hampir menembakku dengan pistol yang kau bawa. Bukankah itu sangat lucu?"

Sial, dia mengejekku.

"Kau beruntung aku tidak benar-benar menembakmu saat itu."

Jimin tertawa renyah. "Yeah, kuharap tidak..."

Wild LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang