|BAB - Pak Jaya|
Satu jam berlalu, Pak Jaya memanggil-manggil namaku. Aku menghentikan langkah, menoleh ke belakang, apa? Pak Jaya menunjuk-nunjuk sesuatu, ke arah jama'ah perempuan yang sedang berjalan pulang, kebetulan menuju ke arahku.
Aku baru ingat akan satu hal, kalau Pak Jaya akan menunjukan dua gadis dengan ciri-ciri yang sama seperti dugaanku. Aku memainkan kepala, Pak Jaya segera berlari-lari kecil ke arahku. "Itu, gadis yang kau maksud bukan?"
Aku menoleh, ke arah telunjuk Pak Jaya menunjuk. Ada tiga gadis menggunakan mukena, sedang berjalan pulang, selesai melaksanakan sholat tarawih. Aku menatapnya lamat-lamat, benar sih, ada tahi lalatnya, tapi bukan itu, jelas sekali bukan dia orangnya. Aku menggeleng. Pak Jaya menghela napas. Kami melanjutkan perjalanan pulang. Di tengah-tengah perjalanan pulang, aku bertanya sesuatu ke Pak Jaya. "Bukankah, masih ada satu gadis lagi yang belum bapak perlihatkan kepadaku?"
Pak Jaya menepuk dahi. "Aduh, ya, tapi dari tadi bapak tidak lihat gadis itu. Apa mungkin, sedang berhalangan ya...."
Huh, aku menghela napas, melanjutkan langkah lagi. Kali ini aku memutuskan untuk langsung tidur, tidak berbincang-bincang lagi dengan Pak Jaya, takut kesiangan—tidak sahur. Tarik selimut, pasang alarm di hp, dan tidur lelap. Hari kedua tidak ada hal istimewa. Semoga di hari ketiga, akan ada kejutan yang disisipkan Tuhan kepada hamba-Nya yang lemah ini.
***
Hari ketiga, akhirnya aku berhasil bangun tepat di jam sahur. Saat keluar dari kamar, ternyata Pak Jaya sudah duduk di atas kursi dengan meja berisi nasi, lauk-pauk, serta teh hangat. Aku mengkerdipkan mata berkali-kali, tidak menyangka kalau Pak Jaya sudah bangun dan mempersiapkan makanan.
"Wow, apa aku tidak salah lihat?" Aku masih sibuk mengucek mata.
Pak Jaya menyeringai lebar, bak kuda, menatapku ganjil. "Ayolah, cuci muka sana, mari sahur."
"Oke, baik-baik." Aku bergegas ke kamar mandi, cuci muka.
Kami pun menikmati sahur pertama. Aku merasakan hal yang berbeda, ketika sahur bersama Pak Jaya. Dia suka bercanda, membuat suasana menjadi ramai, walau kami cuma berdua.
Sahur selesai, Pak Jaya mengganti teh dengan kopi hitam. Aku hanya bisa geleng-geleng melihatnya meneguk kopi, menghisap rokok.
"Kau tidak merokok?" Pak Jaya menawari rokok.
"Oh, ya, terima kasih." Sebenarnya sudah lama sekali, aku tidak merokok, semenjak seminggu yang lalu. Tapi kali ini tak apalah, sekali-kali menghormati Pak Jaya. Sambil menunggu waktu imsak dan sholat shubuh, kami berdua berbincang-bincang.
"Eh, besok siang, lepas dzuhur, mau ikut gak?"
"Kemana Pak?" tanyaku.
"Pengajian akbar di masjid agung kota."
Pengajian akbar? Inilah kesempatanku untuk bertemu dengan gadis berkerudung senja itu. Aku yakin dia pasti ada disana, bahkan bibi juga pernah melihatnya—disana. Aku mengganguk mantap, "Ya, aku ikut."
"Bagus, semoga saja pintu hati kita terketuk ketika berkunjung ke pengajian." Pak Jaya tersenyum, kembali menghisap rokok di tangan kanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IKHLAS
Teen FictionApakah kau akan memilih untuk mati, ketika kau diusir dari keluarga yang telah membesarkanmu. Ataukah hanya bisa menangis sedu, meratapi, dan bersembunyi di balik rintik hujan. Mencari jawaban atas semua itu. Hidup tanpa arah dan tujuan. Hingga suat...