(23)Pesantren - 2

983 42 6
                                    

|BAB - Pesantren|

Dalam perjalanan menuju pondok pesantren, aku mengingat kata-kata dari Ibu, saat usiaku menginjak tujuh tahun. "Ibu ingin anak Ibu yang ganteng ini menjadi seorang pemimpin agama yang hebat dan berpengetahuan luas." Memang benar apa yang Ibu katakan.

Keluargaku mempunyai keturunan dengan latar belakang agama yang sangat kuat. Kakek-nenek dari Ibuku dan juga Paman, merupakan lulusan santri salah satu pondok terbesar di Jawa Timur, begitu pula dengan kakek-nenek dari Bapak, mereka juga lulusan santri dari pondok pesantren Jawa Timur. Itulah kenapa keluargaku selalu mendidik anak-anaknya dengan disiplin.

Tapi, semenjak aku masuk kelas satu SMP. Aku memutuskan untuk tidak lagi belajar agama. Sebelumnya aku meniti ilmu agama dengan Pak Ustad selepas maghrib di mushola, tapi karena jadwal sekolah yang semakin padat, aku memutuskan untuk berhenti mengaji, itupun dengan alasan yang logis. Aku terpaksa membohongi kedua orang tuaku, bilang kalau urusan belajar mengaji sudah aku lakukan di SMP, ikut ekstra kulikuler, padahal tidak sama sekali.

Selain itu, Ibu dan Bapak pernah membahas soal agama jika aku lulus dari bangku SMA. Mereka pernah bilang, "Kalau Hanafi sudah lulus SMA, Bapak akan membawamu ke pondok pesantren, biar kamu jadi orang bener."

Ibu mengangguk setuju. Detik itu, pikiranku melayang-layang tak jelas, membayangkan hal konyol yang akan terjadi setelah aku lulus. Padahal cita-citaku setelah lulus, bukan untuk menimba ilmu agama di pesantren, melainkan menjadi seorang dokter, sekolah di universitas ternama. Tapi sekarang, semua itu tinggalah mimpi, kini, sekolah saja di keluarkan, bagaimana mau menjadi dokter.

"Tapi kan aku tidak berbakat dalam bidang agama Bu, Pak?" aku protes kala itu.

"Menjadi dokter memang pekerjaan yang mulia, tapi lebih mulia lagi menjadi pemimpin agama Nak. Jaman sekarang sudah banyak yang mengejar ilmu kedokteran, tapi untuk urusan mengejar ilmu agama, sangat sedikit, bahkan bisa dihitung."

Aku menatap tubuh mereka bergantian. "Tapi?"

"Tapi apa lagi?" Bapak memotong. "Kau tidak perlu mencemaskan masa depanmu. Masa depan sudah ada yang ngatur, gusti Allah, Nak. Hidup di jalan Allah, pasti tidak akan mati kelaparan."

"Ya, aku tahu. Tapi Hanafi kan tidak tertarik Pak." Aku berusaha protes, tapi Bapak tetep bersikukuh dengan prinsipnya. Aku hanya bisa menghela napas.

Dan kini, justru keinginan kedua orang-tuaku terkabulkan. Apa mungkin kedua orang tuaku setiap malam selalu berdoa agar anaknya yang paling ganteng dan keren ini bisa masuk ke pondok pesantren. Yah, walaupun harus melalui jalan yang terjal dan sangat sulit.

Setengah jam berlalu, mobil kami sudah merapat, masuk ke dalam gang, dari sini sudah terlihat lalu lalang santri, mereka dengan kompak memakai baju koko putih, kopyah atau peci hitam, sarung, dan membawa kitab, berhilir mudik. Kemudian mobil berhenti di sebuah tempat parkir. Paman lekas keluar, Nadia juga, menarikku dari dalam mobil.

Pondok pesantren ini terletak di sisi jalan protokol kota rembang. Lokasinya cukup strategis, tidak terlalu jauh masuk ke dalam. Bahkan di depan pondok, tersedia banyak warung-warung jajanan, kata Nadia, warung-warung tersebut sering dijadikan tempat istirahat para santri, sambil meneguk kopi dan mengafal kitab-kitab. Aku menelan ludah, menghafal kitab-kitab? Alamak! Baca Al-Qur'an saja belum fasih, apalagi disuruh menghafal.

"Selamat datang di Pondok Pesantren Al-Hasan. Silahkan masuk." Panitia penerimaan santri baru yang berbaris rapi menyambut kedatangan kami.

"Eh, Pak Samsudin. Apa kabar, Pak?" seseorang berpakaian serba putih itu menyapa Paman dengan hangat, memeluk tubuhnya erat.

IKHLASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang