|BAB - Pesantren|
Aku duduk menatap keramaian santri yang berhilir mudik, mulai beraktifitas. Salah satu santri baru yang datang dari kota Demak, namanya Idris, duduk disebelahku. "Huh, ternyata di pesantren, sama seperti universitas. Harus ada ujian seleksi dulu." Idris berkeluh kesah.
"Berdoa saja kawan." Laode menanggapi keluhan Idris. Laode juga santri baru, bahkan dia datang dari pulau seberang, yakni Sulawesi. Aku sempat berpikir, kok dia bisa seserius ini ya--menimba ilmu agama sampai jauh-jauh ke pulau jawa.
"Hei, kenapa kau diam saja?" Laode melirik ke arahku.
"Halah, gak usah dipikirlah, nanti malah stres sendiri kau. Lolos tidak lolos, yang penting kita sudah berusaha semaksimal mungkin. Serahkan saja pada Allah."
"Kau terlalu santai, Hanafi." Laode terlihat sebal melihat sikapku.
"Hei, lagian kemarin Pak Lukman juga tidak memberitahu kita kan kalau akan diadakan ujian?" Aku mencoba memberi angin segar ke mereka berdua yang sedang resah gelisah.
"Ya sih. Tapi..." Idris tak melanjutkan kata-katanya.
"Lagipula, mana ada sih pondok pesantren yang akan menolak murid baru, kita ini datang untuk menimba ilmu agama, dan mereka tidak mungkin membiarkan orang-orang ini di tolak dan dipulangkan. Pikir pakai logika, kawan." Aku beranjak pergi, meninggalkan mereka berdua di teras depan asrama. Kebetulan, kamar santri baru macam kami ada di lantai dua.
"Hei, mau kemana kau?" Laode berseru.
"Tidurlah, lagian kata kalian, besok ada ujian." Aku menguap.
"Kau terlalu santai kawan. Aku suka gaya kau. Kau mirip paman di seberang sana." Laode menyeringai.
"Seharusnya aku yang was-was. Justru akulah murid terbodoh di pesantren ini. Baca Al-Qur'an saja tidak bisa, masih mending kalian." Aku melambaikan tangan, lekas masuk ke dalam asrama.
Malam ini aku harus tidur bersesak-sesakan di lantai yang cuma beralaskan karpet. Di sebuah kamar khusus calon santri baru. Aku meluruskan kaki, merebahkan badan, berselimut sarung. Anak-anak yang lain sudah tidur lelap, ada yang mendengkur keras, ada yang tidur sambil memainkan gigi, ada juga yang sesekali ngelindur. Laode dan Idris masih sibuk berdebat di teras depan, padahal jam sudah menunjuk angka sebelas malam.
Aku menatap langit-langit kamar. Masih tidak menyangka kalau perjalanan hidupku akhirnya berlabuh di pondok pesantren. Padahal baru sebulan yang lalu aku masih bebas merdeka. Berpacaran dengan Vina, lalu menggebet Lisa dan Putri, setelah itu sempat memendam rasa dengan Rahma si murid baru, dan yang terakhir, si gadis berkerudung senja itu. Ah, apa kabarmu sekarang di sana? Apakah aku sudah layak berada disampingmu.
"Hei, katanya mau tidur. Kok malah bengong, senyam-senyum sendiri pula." Laode menatapku ganjil. Lekas berbaring di sebelahku, menarik sarung.
"Kau pasti rindu dengan keluarga di rumah kan?" Laode membaringkan badannya ke arahku.
"Apaan sih! Tidur sono. Jangan ganggu." Aku sebal dengan Laode, kepo banget dia, mau tahu urusan orang lain.
Laode akhirnya memutuskan tidur, Idris juga. Jam sudah menunjuk ke angka dua belas, aku berusaha memejamkan mata.
***
Penerimaan santri baru masih dibuka beberapa hari kedepan. Banyak sekali calon santri yang datang, dari segala penjuru di negeri ini, berbeda ras, berbeda etnik, beda bahasa, tapi tetap satu tujuan, tujuan di jalan Allah SWT.
Berhari-hari ku lewati, hingga pada hari datangnya tes calon santri baru. Aku, Idris dan Laode sudah masuk ke dalam aula. Tempat inilah yang dijadikan tes bagi murid-murid baru yang akan menempuh kehidupan baru di dunia pesantren Al-Hasan, atau disingkat PAH.
Soal sudah diberikan, dengan cuma bermodal pulpen dan keyakinan, aku maju melangkah, menjawab semua pertanyaan yang ada didalam kertas. Sempat frustasi dengan beberapa soal yang sama sekali belum pernah aku dengar. Bahkan soal tentang bacaan, idgham bilaghunah pun aku tidak tahu, aku jawab sayakin-yakinnya. Laode disebelahku terlihat gugup dan panik, berkali-kali menggaruk kepala dan menatap ke langit-langit, mengingat sesuatu.
"Assalamualaikum!" Salah satu calon santri baru yang datang terlambat menghentikan ketegangan kami sesaat.
"Waalaikumsalam." Silahkan masuk Mas. Ini soalnya, cari tempat yang kosong ya.
"Terima kasih, Pak."
Aku melirik ke arah calon santri baru itu. Alamak! Itu kan si Roni! Kenapa dia bisa sampai ada di pesantren ini.
Roni berjalan menuju ke arahku duduk, matanya menyapu keadaan di sekitar, mencari tempat duduk yang masih kosong.
"Hey, Roni!" aku berseru, tapi tidak terlalu kencang. Roni sepertinya mendengar sahutanku, tapi dia kebinggungan, lekas berjalan ke arah kiri, jauh dari tempatku duduk.
Si Roni ngapain dia ke sini? Udah tobat? Atau karena paksaan kedua orang tuanya? Ada-ada saja. Mimpi apa aku semalam. Jangan-jangan, si Doni juga kesini? Haha, tidak mungkin lah, dia kan masih sekolah pastinya, sibuk ngurusi UN.
Selesai tes, semua calon santri berlomba-lomba keluar dari aula. Aku berusaha menyapu keadaan sekitar, mencari keberadaan Roni.
"Hei, yuk ke warung depan. Refresh pikiran, biar gak jenuh." Idris menarik tanganku, begitu pula Laode. Detik itu, aku kehilangan Roni. Kami pun memutuskan untuk bersantai sejenak di warung depan pesantren, sekedar menikmati pemandangan daerah setempat sembari meneguk kopi.
"Rokok nih. Kau merokok gak?" Idris menawariku rokok, Laode menggelengkan kepala, tanda tak mau.
"Memangnya disini tidak dilarang?" Aku bertanya, memastikan.
"Kalau cuma rokok tidak apa-apa Hanafi. Kecuali kalau ganja atau narkoba, baru itu haram." Idris menyalakan rokok dengan korek kayu.
"Kata siapa disini boleh ngerokok?" Aku kembali bertanya.
"Kata kakakku lah. Kakakku sudah nyantri disini hampir enam tahun, bentar lagi lulus. Katanya disini dibolehkan merokok, asal diluar komplek pesantren. Itu kan hak orang sendiri-sendiri." Idris mulai menjelaskan.
Terlihat beberapa santri senior datang, pemilik warung sepertinya sudah hafal betul dengan pesanan mereka. Setiap orang pasti memesan kopi hitam, rokok, dan cemilan berupa mendoan. Aku menyimak obrolan mereka siang itu.
"Piye liburane wingi, enak ora?"
"Kakeane, enak gundulmu. Payah tenan jan."
Pemilik warung keluar, menyerahkan mendoan hangat, "Iki iseh anget-angete."
Tiba-tiba salah satu dari mereka menatap kami, "monggo mas, sarengan niki."
Aku dan Laode benggong, tidak bisa menerjemahkan bahasa mereka. Hanya Idris yang menjawab, melempar senyum ramah. "Njeh, Mas. Matur suwun, di enak mawon."
Laode menyikut lengan Idris, lantas berbisik pelan, "Mereka cakap apaan sih. Coba kau jelaskan dari awal."
Idris kemudian menerangkan pembicaraan mereka. Idris mengambil napas panjang. "Piye liburane wingi, enak ora? Iku artinya, 'bagaimana liburan kemarin, enak gak?' Lalu temannya menjawab, 'Kakeane, enak gundulmu. Payah tenan jeh.' Artinya, 'Sialan, enak palamu. Payah sekali tahu."
Laode terkekeh, menepuk jidad. "Jadi arti dari kata 'kakeane' itu 'sialan' ya. Keren-keren. Lalu yang monggo-monggo?"
Idris membetulkan tempat duduknya, "Monggo mas, sarengan niki. Itu artinya, 'Silahkan Kak, Makan bersama.' Istilah 'sarengan' itu sebenarnya 'bareng'
Percakapan siang itu di warung depan pesantren cukup seru. Idris menjadi tokoh kunci, yang menjadi guru bahasa dadakan bagi kami. Sedangkan Laode, dia menjadi santri terkonyol, yang kadang suka melawak, yah walau lawakannya kadang masih garing. Tapi, lumayanlah, tidak bikin jenuh.
Laode dan Idris sudah seperti keluargaku sendiri. Aku akhirnya menemukan keluarga baru di pesantren ini, dan aku harap mereka semua akan tetap satu kamar denganku, dan lulus bersama menjadi santri yang teladan dan bermanfaat bagi nusa dan bangsa.
(Next)
KAMU SEDANG MEMBACA
IKHLAS
Teen FictionApakah kau akan memilih untuk mati, ketika kau diusir dari keluarga yang telah membesarkanmu. Ataukah hanya bisa menangis sedu, meratapi, dan bersembunyi di balik rintik hujan. Mencari jawaban atas semua itu. Hidup tanpa arah dan tujuan. Hingga suat...