(32)Sebelum Janur Kuning - 2

839 44 5
                                    

|BAB - Sebelum Janur Kuning|

    Hari baru. Kembali masuk ke dunia pesantren. Kembali beraktifitas seperti biasanya. Tahun kedua, aku sudah naik ke kelas dua, bersamaan pula dengan Roni. Aku juga sudah terbiasa dengan kehidupan di dunia pesantren ini.

    Hari pertama semenjak libur panjang. Aku membersihkan kamar tidur bersama Idris dan Laode. Roni hari itu belum datang, dia memberikan kabar terakhir melalui telepon, kalau dia masuk agak telat. Mungkin satu minggu lagi.

    Membersihkan tempat tidur adalah hal yang wajib bagi kami para santri, agar terhindar dari penyakit gatal-gatal, atau penyakit-penyakit lainnya.

    Selepas membereskan kamar. Idris mengajak kami untuk bersantai sejenak di warung kopi depan pondok pesantren. Laode mengacungkan jempol, setuju. Begitu pula aku.

    Seperti hari-hari biasanya. Kami menikmati suguhan kopi hitam yang ber-aroma sedap. Mungkin kalau Pak Jaya tahu, bisa-bisa dia datang ke sini.

    "Bagaimana liburanmu kemarin?" Idris membuka obrolan. Laode masih sibuk membaca Novel best seller yang baru ia beli beberapa hari lalu. Dia memang sangat hobi membaca.

    "Liburan, biasa saja." Laode menjawab pendek, masih tenggelam dalam tulisan-tulisan yang terangkai apik di dalam novel karya Agatha Christie setebal kurang lebih 250 halaman.

    "Kau sendiri?" Idris kini menatapku.

    "Tidak ada yang istimewa."

    "Eh, bagaimana dengan gadis berkerudung senja yang pernah kau ceritakan pada kami waktu itu?" Idris banting setir, membuka obrolan lain yang hampir membuatku tersedak.

  "Apa?"

  "Kelanjutannya? Kisah cinta kau lah dengan gadis berkerudung senja itu?" Idris sudah memasang ekspresi penasaran.

   "Tidak ada apa-apa. Tidak ada yang perlu aku ceritakan kepada kalian berdua."

  "Loh, kenapa? Apa kau sudah menyerah? Atau jangan-jangan, gadis itu sudah menikah?" Idris sudah macam wartawan kelas kampung, bertanya mendetil.

   "Menyakitkan sekali kawan." Aku menjawab pendek, bersandar ke dinding warung yang terbuat dari kayu.

  "Menyakitkan?" jawab mereka berdua kompak, bahkan Laode pun sampai menduakan Novel-nya demi mengerti ceritaku.

  "Eh, kau ikut mendengarkan?" Idris melotot ke Laode, dia nyengir--menutup novelnya.

  "Bagaimana ceritanya? Ini pasti menarik. Bahkan lebih menarik dari cerita novel best seller kepunyaanku." Laode menatapku tidak berkedip.

   "Kalian tahu, hah?"

   "Tidak." Mereka berdua kompak menggeleng, memotong ucapanku.

  "Kalian tahu, kalau gadis berkerudung senja yang pernah aku ceritakan pada kalian itu..."

   "Itu apa? Jangan membuatku mati penasaran kawan?" Laode memotong, tidak sabaran. Idris menyikut lengan Laode, ber-hiss, menyuruhnya diam.

   "Gadis itu merupakan salah satu santriwati di pondok pesantren ini."

   "Wah, kebetulan sekali kawan. Itu bagus! Kau bisa mengajaknya bertemu, sewaktu-waktu, di luar."

   "Bukan soal itu yang aku permasalahkan, Idris."

   "Lantas?" Idris menaikan alis sebelah.

   "Karena gadis itu merupakan tunangannya si Roni. Temanku sendiri. Mereka sudah di jodohkan oleh kedua orang tua mereka. Roni yang setiap malam selalu menemuinya di minimarket bulan ramadhan kemarin, itu dia, Roni menemui gadis berkerudung senja itu." Aku berkata cepat, meninggikan volume suara. Mereka berdua terperanga mendengar ceritaku.

   "Astaga!" Laode menepuk jidad. Idris terdiam membisu tanpa berkomentar

  Aku memukul kursi keras, pemilik warung mendesis keras. "Lantas? Bagaimana urusan ini? Semakin rumit saja? Aku tidak tahu harus bertindak apa? Apa aku harus mengorbankan perasaan ini? Atau aku harus mengikuti sebuah pepatah ajaib."

  "Pepatah ajaib? Pepatah apa itu?" Laode bertanya polos.

   "Sebelum janur kuning melengkung. Masih milik umum."

   "Yah. Pepatah itu sangat cocok. Kau harus memperjuangkan cintamu, Hanafi." Laode berdiri, menepuk bahuku, memberi semangat.

   "Tapi bagaimana caranya? Kesempatan itu tidak ada? Tidak ada satupun kesempatan yang bersahabat denganku." Aku menghardik takdir.

   "Aku punya ide." Idris tiba-tiba mengucapkan sebuah kata-kata yang membuatku dan Laode menoleh ke arahnya.

   "Ide apa itu?" tanyaku penasaran.

   "Kau harus sering menemuinya di asrama santriwati. Idris menatapku mantap.

   "Gila kau! Itu pelanggaran keras!" Aku mendengus kesal.

   "Hah, idemu itu buruk sekali kawan." Laode tampak tidak setuju.

   "Kalian tidak berpikir secara jernih. Ada satu hal yang masih bisa membuat kalian masuk menemui salah satu santriwati tanpa masalah." Idris mengekspresikan raut wajah serius.

   "Apa itu?" tanyaku tertarik.

   "Hanafi. Kau harus mempersiapkan foto kopi KTP palsu, foto kopi KK (kartu keluarga) palsu, hanya dua saja, itu syarat yang sangat penting."

   "Syarat apa itu?"

   "Kau akan mengaku sebagai kakak maupun paman si gadis itu atau apalah, yang penting masih bersangkutan. Nanti aku bantu membuat semua hal-hal palsu itu. Tapi jangan di tiru ya. Ini perbuatan tidak baik, aku hanya melakukan ini demi kebaikanmu, Hanafi."

   "Baik-baik. Kapan kau bisa membuatkan?"

   "Besok siang. Selepas sholat dzuhur. Kita pergi ke salah satu temanku yang rumahnya tak jauh dari pondok pesantren ini."

   "Sejak kapan kau punya teman di sini?" tanyaku tidak percaya.

   "Teman SMA-ku dulu. Dia jago di bidang edit-meng-edit, dia pindah ke kota ini setelah lulus." Idris menjelaskan tanpa ragu.

  (Bersambung)
Kritik dan Saran ya...

IKHLASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang