Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi saat Mario beranjak dari ranjangnya. Sudah sejak berjam-jam lalu Mario ingin memejamkan matanya namun tak kunjung bisa. Mario memang seperti ini, Ia sering kali mengalami insomnia ketika pikirannya memikirkan banyak hal dan dilanda kegelisahan yang mendalam.
Mario berjalan menuju dapur untuk mengambil minum dan duduk sejenak disana. Ia termenung, sekelebat perkataan Shila kembali memenuhi pikirannya.
"Tolong, nikahi aku bang!."
Kata-kata itu terus berputar di otaknya, rasa bimbang antara ingin menolong atau mengabaikan terus berkecamuk di dalam dadanya. Mario mencoba memahami Shila dan membayangkan jika dirinyalah yang ada di posisi perempuan itu. Tentu saja Mario ingin dan merasa harus merealisasikan harapan terakhir dari orang tersayangnya sekalipun itu bukan keinginannya. Mario akan berusaha sebaik mungkin agar orang kesayangannya biss pergi dengan damai.
Memikirkan hal itu rasanya ingin sekali Mario menolong Shila. Namun, disisi lain bagi Mario sebuah pernikahan bukanlah hal yang main-main. Bukan hal yang langsung begitu saja diputuskan. Menikah bukan sekedar mengikat janji antara dua orang dihadapan Tuhan. Tapi menikah adalah sebuah komitmen. Komitmen yang harus dihadapi selama sisa hidup bersama orang yang dinikahi.
Mario menghela nafasnya. Membahas masalah pernikahan membuat dirinya teringat akan pernikahan impian miliknya. Mario memiliki mimpi bahwa dirinya akan menikah dengan seorang perempuan yang Ia suka, dengan perempuan yang sudah lama Ia nantikan. Dan perempuan itu jelas bukan Shila. Mario sudah merencanakan bahwa dalam waktu dekat ini dirinya akan melamar sosok perempuaan yang disukainya dan dia adalah Hana yang berstatus sebagai sahabat Shila.
Sudah sejak lama Mario merencanakan untuk melamar Hana dan menjadikan perempuan itu istrinya. Namun setelah mendengar permintaan tolong Shila, Mario jadi ragu untuk melanjutkan langkah yang sudah Ia susun. Padahal kedua orangtuanya sudah mengenal Hana dan sudah setuju dengan keinginannya untuk melamar Hana. Namun lagi-lagi ucapan dan tangisan Shila mengusik pikirannya. Ia benar-benar kalut hingga tidak tahu harus bertindak seperti apa.
"Loh, belum tidur?." Suara Mama mengejutkan Mario. Perempuan paruh baya itu tampak berjalan mendekati Mario.
"Dari kemarin tadi setelah kamu pulang dari wisudanya temanmu, Mama lihat wajahmu murung sekali. Apakah ada yang mengganggu pikiramu?." Seolah paham bahwa anaknya sedang banyak pikiran. Mama mendekat dan memberikan usapan lembut di bahu Mario.
Mario terdiam, sedikit ragu apakah Ia harus cerita kepada Mama atau tidak. Jika cerita, Mario masih ragu dengan apa yang ingin Ia ceritakan, jika tidak cerita, Mario takut beban pikirannya semakin berat, setidaknya Ia butuh teman untuk curhat. Dan Mama adalah salah satu orang ternyaman bagi Mario untuk melakukan sesi curhat. Hingga akhirnya Mario memutuskan untuk menceritakan apa yang tengah mengganggu pikirannya.
Mama hanya tersenyum menanggapi cerita Mario. "Coba kamu istikharah, mungkin dengan istikharah Allah akan menunjukkan keputusan yang terbaik buat kamu."
"Tapi.. bagaimana dengan Mama yang sudah terlanjur menyukai Hana?."
Lagi-lagi Mama tersenyum. "Sesuka apapun Mama kepada Hana, jika dia bukan jodoh kamu, dia tetap tidak bisa jadi mantu Mama. Lagipula belum ada kepastian juga kan apakah nantinya Hana akan menerima lamaran kamu atau tidak?."
"Dan perihal perempuan yang meminta tolong ke kamu itu, Jika memang dia jodoh yang dikirim Allah untuk kamu, Mama sebagai orang tua hanya bisa menerima." Lanjut Mama.
"Coba kamu pikirkan lagi matang-matang, apapun keputusan kamu, Mama menerimanya."
***
Sore ini, Shila tengah duduk dengan resah di sebuah kafe yang tidak jauh dari kampusnya. Kali ini Mario mengajaknya bertemu untuk bicara berdua. Sejujurnya Shila sudah menghilangkan semua harapannya kepada Mario, karena Shila tahu bahwa permintaan tolongnya bukanlah sebuah permintaan yang mudah untuk diwujudkan baik itu oleh Mario ataupun orang lain.

KAMU SEDANG MEMBACA
Arshila [DREAME]
RomanceMungkin saat menikahimu tidak ada rasa cinta sedikitpun yang aku miliki. Tapi aku akan berusaha secepatnya untuk mencintaimu. Karena setelah ijab qabul yang aku ucapkan. Itu berarti kamulah penggenap separuh agamaku dan kamulah tanggung jawabku...