Siang hari yang terik ini aku benar-benar mendapat "rejeki". Bagaimana tidak? Seharusnya saat ini aku sudah terlelap tidur siang di atas tempat tidurku yang nyaman.
Sayangnya, meskipun mata sudah terlihat buram karena banyaknya air mata yang menggenang akibat berkali-kali menguap serta suara-suara di dalam perut yang sudah "berteriak" minta diisi, mobil jemputan Sakura yang sudah kami tunggu lebih dari setengah jam yang lalu masih belum juga menampakkan diri. Akibatnya, aku dan Sakura harus rela menunggu di halaman kampus dengan ditemani udara sepoi yang berhembus laksana lagu pengantar tidur untukku.
"Sopirmu masih lama, Sakura?" Kataku sambil melihat jam tangan yang entah sudah berapa kali aku tengok untuk yang kesekian kalinya.
"Sabar ya, Hinata! Tadi aku sudah menghubungi rumah, kata mereka supirku sudah dalam perjalanan." Sakura menatapku dengan mata berkaca-kaca ala seekor kucing yang sedang meminta tambahan susu kepada majikannya.
Aku tahu apa arti tatapannya ini. Aku menghembuskan nafasku dengan lemas ketika mendengar jawaban dari sahabatku yang satu ini. "Memangnya Naruto-kun di mana?" Biasanya ketika Sakura tidak bisa dijemput, dia akan meminta Naruto untuk mengantarnya. Tapi hari ini berbeda, padahal jelas-jelas mobil Sakura sedang ada di bengkel, tapi dia tetap saja mau berlama-lama menunggunya.
"Hei, jangan membicarakan dia!" Sakura tampak melototkan matanya ke arahku.
Lagi, aku menghembuskan nafasku berat mendengar jawaban Sakura. Sampai saat ini pun aku masih heran bagaimana Sakura dan Naruto bisa menjalani hubungan sebagai kekasih, padahal seingatku tidak ada satu hari pun yang mereka lewati tanpa adanya pertengkaran.
"Kenapa lagi, Sakura?" Sebagai sahabat yang baik tentu saja setidaknya aku harus bertanya.
"Si bodoh itu melupakan janjinya untuk menjemputku dan lebih memilih untuk mengerjakan riset bersama teman kampusnya yang lain." Sakura tampak geram ketika bercerita. "Padahal dia sudah janji dan ini sudah hari ketiga kami tidak bertemu." Naruto memang kuliah di universitas yang berbeda dengan kami.
"Bagaimana mungkin aku bisa berpacaran dengan cowok pelupa dan tidak peka seperti dia?"
Aku memutar mataku malas mendengar sikap drama Sakura yang berlebihan. "Itu juga yang dari dulu ingin aku tanyakan." Jawabku pelan.
Tapi sepertinya suaraku tidak cukup pelan bagi Sakura. "Hinata!" Sakura menggeram lagi dengan kesal.
Aku menunjukkan cengiran lebar ke arah Sakura, mencoba bercanda dengannya saat ini nyatanya bukanlah pilihan yang tepat untuk dapat aku lakukan. Aku memutar posisi dudukku agar bisa menghadap ke arah Sakura sepenuhnya.
"Saat ini dia sedang melakukan risetnya, Sakura. Dia tidak sedang bermain-main. Dia menuruti kemauanmu untuk segera lulus dari pendidikan S2 yang dia tempuh. Itu semua untuk dirimu. Untuk menunjukkan keseriusannya padamu. Lalu apalagi yang harus kau risaukan?" Tanyaku tak serius benar-benar ingin mendengar jawabannya.
Setidaknya kali ini aku harus serius menghibur Sakura. Aku tidak ingin sikap dramanya akan mengembang semakin besar seperti sebuah adonan kue donat.
Sakura menatapku dalam, berusaha mencerna setiap perkataan yang tadi aku ucapkan. Tidak berapa lama kemudian dia menampilkan senyum secerah matahari di musim semi. "Kau benar, Hinata. Terimakasih." Ucapnya sambil memeluk tubuhku.
"Tentu saja aku benar, Sakura. Walaupun saat ini aku tidak memiliki pacar, tapi aku memiliki pengalaman yang lebih banyak daripada kau. Apalagi untuk sekedar menghadapi para cowok." Ucapku menyeringai.
Meskipun aku tidak melihat, aku tahu kalau saat ini Sakura sedang memutar matanya, dia melepas pelukannya dariku. "Aku tahu itu dengan sangat baik, Nona Hyuga. Mengingat berapa banyaknya pacar yang kau miliki bahkan dalam waktu yang bersamaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Play Girl yang Kehilangan Kemampuan?
FanfikceHighest rank #4 in fanfiction Hyuga Hinata yang hidupnya selalu terbayang-bayang oleh masa lalu, kini telah menjelma menjadi "Sang Angsa". Akibat dari sifatnya yang terlalu peka, Hinata justru harus terjebak hubungan dengan tiga cowok sekaligus. Pen...