Like We Used To - A Rocket To The Moon
Musim dingin masih meyelimuti kota London sampai hari ini, sudah berminggu-minggu lamanya sejak kejadian di lorong kampus yang berhasil membuat suasana hati Angkasa galau melintang --bagaimana tidak? Ibaratnya setelah jarak sejauh bumi dan bulan membentang kini mereka di pertemukan kembali, seperti ada hal yang memagari diri Angkasa.
Girls change so much after they are hurt.
Kalimat itu berputar di dalam kepala Angkasa, sejauh ini jika terlihat banyak yang berubah dari perempuan itu. Senyum cerah Adara tak lagi tampak dalam wajahnya meski perempuan itu terlihat tersenyum namun semuanya terasa berbeda, guratan mata sipit favorit Angkasa juga tidak ada. Apa itu pertanda jika selama ini Adara tidak benar-benar bahagia? technically setelah Angkasa pergi dengan menyakiti perasaan perempuan itu.
Lagi-lagi erangan frustasi terdengar dan hanya tertahan sampai tenggorokan Angkasa, secepat kilat tanpa berfikir panjang Angkasa menyambar mantel miliknya yang semula tergantung di samping meja belajarnya sambil salah satu tangannya yang lain meraih kunci mobil di atas nakas.
Entah kemana tujuannya Angkasa pergi dari rumah saat malam di musim salju pada pukul 11 malam, meski saat ini suhu tidak begitu dingin namun hal itu cukup membahayakan dirinya.
Hanya dengan berbekal pikiran yang berkecamuk Angkasa memutar mobilnya ke dekat pusat kota dimana biasanya terdapat kafe 24jam, tempat terbaik untuk berfikir tenang adalah di tempat yang cukup sepi meski Angkasa lebih memilih pergi ke tempat umum, namun kafe 24jam langganannya itu memiliki suasana yang tenang dan menghangatkan bagi Angkasa.
Dulu, sebelum pria itu menetap tinggal di kota ini Angkasa sudah pernah beberapa kali pergi ke London entah hanya sekedar untuk berlibur atau bertemu dengan keluarga dari Papa-nya. Angkasa hafal betul tempat-tempat yang mampu mengembalikan gairahnya untuk hidup.
"Can I help you sir?" Angkasa di sambut pelayan yang sangat ramah saat memasuki pintu kafe.
Not bad, pikirnya sambil melangkahkan kakinya masuk kedalam. Kedua telapak tangan pria itu ia masukkan kedalam saku mantel miliknya, "One cup of unsweetened coffee."
Pelayan itu menerima pesanan Angkasa setelah itu berbalik dan pergi, Angkasa belum bertemu lagi dengan Adara. Pria itu tidak bisa membohongi perasaannya bahwa ia benar-benar ingin memeluk Adara sekarang melampiaskan semua rasa rindu yang mengunung sampai segalanya tuntas.
But he never tried to find her.
Tindakannya tak pernah sejalan dengan otaknya, Angkasa mampu melewati masa-masa sulit saat ia kehiangan Papa-nya namun sejak dulu Angkasa tidak pernah benar-benar bisa melewati ujian masalah tentang hatinya.
Di dalam kafe bernuansa coklat kayu itu hanya terlihat ada beberapa pengunjung tidak begitu banyak mengingat sudah pukul berapa malam ini, Angkasa membuang wajahnya ke arah kaca besar yang terpasang di samping pintu masuk.
Jalan raya di dekat pusat kota terlihat ramai meski malam ini hampir mendekati tengah malam, lampu warna-warni mengelilingi seluruh bangunan memberikan kemeriahan dan gemerlap di malam hari, London tak pernah mengecewakan sampai saat ini hanya saja kepergiannya untuk memilih tinggal di kota yang di gandrungi keindahan itu menyisakan luka untuk seseorang.
Saat pria itu masih memandang ke arah luar kafe seorang pelayan mengantarkan pesanannya ke meja miliknya sambil tersenyum tipis Angkasa mengucapkan terima kasih pada pelayan tersebut dan kini pria itu mengalihkan pandangannya ke dalam segelas kopi hangat yang masih di iringin uap di atasnya.
Jika Angkasa seorang wanita pasti saat ini ia sedang menangis meratapi siksaan pada hatinya, tapi sayang ia bukan seorang perempuan yang pintar menelaah dan mengeluarkan segala emosi yang terdapat di dalam pikirannya saat sendirian.
Ponsel Angkasa bergetar, semula dari getaran panjang karena panggilan dari Bintang, tak berniat untuk menerima panggilannya kini getaran itu berganti menjadi beberapa pesan yang dapat Angkasa tebak hanya berisi sumpah serapah yang akan Bintang lontarkan.
Bintang Baskhara : Lo dimana? Tante Amanda nyariin sialan!
Salah satu pesan terbaca dari lock screen ponsel miliknya. Angkasa baru ingat saat ia keluar dari rumah tadi ia belum meminta ijin pada Amanda, tapi percuma saja jika Angkasa meminta ijin Amanda sendiri belum tentu mengizinkannya dan juga Amanda seperti sudah tertidur di kamarnya.
Angkasa menyesap kopi miliknya merasakan pahit di setiap tetes yang masuk ke dalam mulutnya, memejamkan matanya begitu saja membiarkan pikirannya ikut tertelan bersama kopi tersebut dan masuk ke dalam lambungnya.
Saat Angkasa kembali meletakkan cangkir di atas meja sekilas kedua matanya menangkap bayangan seseorang yang tak asing, mungkin terlihat sedikit berbeda banyak yang berubah dari penampilan wanita itu dan jantung Angkasa hampir ingin meledak saat perempuan itu berbalik.
Perempuan yang menggunakan mantel berwarna hijau tua dengan sarung tangan berwarna senada kini menatap tepat pada bola mata Angkasa, sedikit memberikan kehangat namun terasa berbeda, perempuan itu membeku begitupun dirinya.
Tak ada yang bersuara, alampun seolah mengerti ketika dua insan mampun menemukan apa yang mereka cari apa yang mereka benar-benar inginkan, Adara lebih dulu sadar dan mengerjapkan kedua matanya meski jarak antara mereka kini hanya sekedar beberapa langkah namun Angkasa tak kunjung bertindak seolah pria itu terlalu pengecut untuk mengakui segalannya, entah tentang rindu atau kesalahannya menyakiti Adara.
Bibir Angkasa membisu, seharusnya saat ini Angkasa berlari keluar dari kafe saat matanya melihat perempuan itu pergi dengan air mata yang menetes di ujung mata sipitnya, memeluknya atau bahkan membawa kembali perempuan itu ke dalam sisinya, menggengam tangan Adara seperti hal yang ia rindukan.
Namun harapan tinggalah harapan, Angkasa tidak melakukannya.
"She really wait, but he's never to act."
KAMU SEDANG MEMBACA
Winter In The Hallway
Cerita PendekThe snow season is not always fun --especially when it must force the heart to remove the previously held tightly. Copyright@2017