SA-4:Ketek Api Menyebalkan

59 11 15
                                    

Mulmed: Pricia Vimefa

Langit sudah menampakkan warna jingga cerah. Matahari sebentar lagi pasti akan terbenam.

Sejak tadi, tak henti-hentinya aku mengulum senyum. Satu harian bersama Bryan, luar biasa. Meskipun aku menjadi pembokatnya, tak mengapa. Asalkan aku bisa bersamanya.

Aku bangkit dari ranjang bermotif kartun berwarna kuning bujur sangkar ini dan berjalan menuju meja belajar.

Meraih buku kecil dengan foto Bryan sebagai sampulnya, aku tersenyum dan menuliskan apapun hal yang ku dapar ku kerahui tadi.

Setelah selesai, aku memeluk erat buku ini sembari menghirup wangi buku ini dalam-dalam. Aku melepaskan kabel charger dan membuka aplikasi instagram. Nama BryanEl tertera di kolom pencarian. Aku membuka profilnya. Tidak ada apa-apa. Postingan terakhirnya 3 hari yang lalu. Sudahlah, aku mematikan data kuota dan menyimpan ponsel berwarna rose gold ini di laci. Mengambil handuk, aku melangkah menuju kamar mandi.


•••

Sabtu pagi ini, aku akan melakukan olahraga. Hanya jalan-jalan, lari kecil, dan menghampiri tama komplek. Sudah menjadi rutinitasku untuk melakukan ini untuk menjaga bentuk tubuhku. Aku minder, banyak siswi --terutama kakak kelasku yang dandanannya seperti cabe-cabean--- menghinaku jelek dan gendut.

Iya, aku tau kok, aku emang suka makan hingga badanku tidak ideal lagi. Meskipun mama telah mengatakan berulang kali bahwa aku cantik dan memiliki tubuh ideal. Tapi kan tetap saja, yang namanya ibu pasti tak ingin anaknya sedih, walau berbohong sekalipun.

Mengambil sepatu sport berwarna putih dengan garis-garis hitam sebagai coraknya, aku menenteng sepatu tersebut dan melangkah menuju ayunan di halaman runah.

Memakainya, aku menutup telingaku dengan earphone berwarna biru lembut. Memutar lagu Despacito, milik Justin Bieber.

Aku berlari kecil menuju taman komplek perumahan dengan bersenandung kecil.

•••

Nafas yang terputus-putus menjadi hasil dari lari pagiku yang kira-kira berjarak 1 kilometeran ini. Dengan menekuk kedua lututku, tangan ini bertumpu pada lututku.

Bangku kosong di dekat pohon besar itu menjadi tujuanku. Dengan kaki yang diselonjorkan dan badan yang ku sandarkan di kepala bangku, mataku terpejam menikmati udara pagi dan alunan musik lush life milik Zara Lasson.

Menenangkan.

Apalagi ada semilir angin yang menerpa helaian rambutku yang terjuntai bebas.

"Hoy,"

"Anjir!" Pekikku kaget ketika sebuah tangan menepuk pundakku.

Suara yang kuyakini adalah cowok --karena aku memakai headset, sehingga aku hanya mendengar samar-sanar---itu tiba-tiba saja mengagetkanku. Aku menoleh ke belakang, dan si cowok bangsul ini menduduki bokongnya di sebelahku. Aku mendengus ke arahnya dan dibalas dengan cengegesan olehnya.

"Paan lo?"

Dia terkekeh kemudian mengacak ramburku dengan gemas.

"Paan sih, Van!" Protesku kepada cowok yang ku sebut Van ini. Yah, dia Revano Abigail, cowok bangsul tetanggaku.

"Lo lari nggak ngajak-ngajak gue. Tunggal lu, ah." Cemberut si bangsul ketek api ini.

"So? Lo sapa gue? Penting bet yah?"

Entah mengapa semenjak Revan si bangsul ketek api ini menyatakan cintanya padaku, aku menjadi sedikit jijay padanya.

Sebenarnya, nih anak lumayan tjakyep ugha lah ya. Wajahnya yang blasteran Australia, bola matanya berwarna coklat terang, humiris, kagak pelit, pinter tapi kadang rada bloon juga, pokoknya Revan itu mantjhap.

Revan cemberut, membuat wajahnya semakin cute. Tapi pengen aku tabok juga. Hihi, maaf. Kadang emang aku rada psikopat.

"Lo emang jaat bet sama gue, nil."

"Apaan sih lo. Nama gue itu Pricia Vimefa. Garis bawahi, tebalkan, tulis miring. Bukan kuda nil, ketek api." Ngajak tumbok juga ini anak terkadang. Ayo gue ladenin. Siapa berani. Hehe.

"Lo juga manggil gue ketek api. Bangsat betul lo, yah!"

"Ya kan, ketek lu panas, sih. Panas itukan api. Trus, salah?"

"Kapan sih kita berhenti berantem. Lo gak capej, nil?"

"SEKALI LAGI LO MANGGIL GUE KUDA NIL, GUE PITES PALA LO. Tunggu negara api menyerang."

"Syakit, sakitnya tuh di sini." Ucapnya mendramasir keadaan sembari meremas dada kirinya.

Ah capek gue ah. Mending pulang. Ketenanganku telah diganggu oleh siketek api ini.

Tanpa memperdulikannya, aku bangkit dan berjalan pulang. Menyadari itu, Revan menyudahi aksinya dan berlari mengejarku.

Kini, Revan telah berada di sampingku. Aku tak memperdulikannya dan melangkah menuju mai hom.

•••

"Dadah,"

Revan melambaikan tangannya ke arahku yang hanya kubalas dengan tatapan biasa saja. Bodo ah, ini anak gak bosan apa gangguin aku mulu?

De seberang sana, Revan berdiri di pagar rumahnya dan cengengesan. Aku tidak meresponnya dan melangkah masuk ke dalam rumah.

Wangi lavender menjadi aroma rumah ini. Iya dung, emak aku kan hobi banget sama bunga berwarna janda ini. Ngomonh-ngemeng, kok sepi yah? Pada kemana makhluk penunggu rumah ini? Bukannya apa. Soalnya kan ini hari Sabtu, jadi yah weekend.

"Mama. Yuhu. Emak. Nyokap. Bunda. Ibu. Ma mother. Ma queen. Ma devil. Mama..."

Oke, cukup sudah. Aku capek. Dari tadi keliling rumah, emak aku gak nampak juga mata cipitnya itu.

Gue la thu the par. Lapar. Yawloh.

Aku menuju meja makan dan membuka tudung saja. Alangkah indahnya aku melihat bukan makanan yang berada di sini. Melainkan secarik kertas tulisan tangan mama. Aelah, pantesan. Capek ugha nyariknya, eh gataunya emak aku pergi.

Aku mendengus dan memasak mie instan.

Mefa, mama sedang pergi arisan ke rumah tante Ipah. Mama gak masak karena uda telat tadi. Mama pulang mungkin lumayan malam. Beresin rumah! Mama gamau tau. Rumah harus kinclong ketika mama pulang.

Yuhu, penderitaan gue punya emak sosialita. Gue harus jadi pembokat. Bangsul ah.

•••

Author's note:

Typos bertebaran yah chuyank gua.

Lebih seru gue pakai author pov ato Mefa pov?

Siskaalbert

SECRET ADMIRER. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang