Sofia POV
Aku berada di padang rumput yang sangat luas. Aneh, mengapa aku bisa disini? Dimanakah aku?
Kuputuskan untuk berdiri dan berjalan menyusuri jalan setapak yang kurasa dibuat hanya untukku. Tiba-tiba, seekor kupu-kupu terbang melewatiku. Sayapnya yang biru indah memantulkan cahaya matahari.
Cantik, cantik sekali.
Kupu-kupu itu mengitariku beberapa kali, lalu Ia menyentuh ujung hidungku, membuatku tertawa kecil karena geli.
Kupu-kupu itu terbang ke satu arah, seakan memintaku untuk mengikutinya. Dengan tersenyum akupun berjalan di belakangnya.
Tak berapa lama kemudian, aku melihat sesosok yang berdiri membelakangiku. Kupu-kupu itu terbang lebih cepat dan hinggap di ujung jari orang itu, sementara aku berhenti karena penasaran.
Sosok itu tiba-tiba berputar menghadapku. Dengan perlahan ia berjalan menghampiriku. Tidak mungkin, aku mengenalnya...
***
"Kringgg!!!" jam wekerku yang keras membangunkanku pagi ini.
Kuusap mataku perlahan. Dapat kurasakan tanganku basah karena air mata. Aku menangis?Setelah mandi aku mengenakan baju hitam. Hari ini adalah peringatan satu tahun meninggalnya pacarku karena kecelakaan. Kadang-kadang aku masih sering menangis dalam tidur jika mengingatnya. Maafkan aku, hanya saja ia pernah menjadi orang yang sangat penting dalam hidupku.
Dengan segera aku bersiap-siap lalu turun menuju dapur untuk sarapan.
"Selamat pagi Sofia," kakakku, Angela, menyapaku sembari memasak omelet. Ia juga memakai baju hitam. Sebenarnya, pacarku adalah teman sekelas kakakku di sekolah. Aku tersenyum dan duduk di meja dapur. Tak lama kemudian, ia selesai lalu kami pun makan bersama.
"Hari ini kita akan berangkat lebih awal karena aku harus meminta izin Alex terlebih dahulu," katanya lalu cepat-cepat menghabiskan sarapannya.
Alex adalah pemilik kafe tempat kakakku bekerja. Oh iya, aku hanya tinggal berdua dengan kakakku semenjak orang tua kami bercerai dua tahun yang lalu. Waktu itu kami bersikeras akan tinggal berdua saja di rumah lama kami saat masih tinggal bersama sebagai satu keluarga. Orang tua kami masih membantu kami secara finansial setiap bulannya, namun kakakku bersikeras ingin bekerja agar kami dapat hidup mandiri segera setelah aku mendapatkan tanda kependudukanku.
"Kau tidak masuk bekerja hari ini?" tanyaku memastikan.
"Tentu saja. Kita akan pergi jalan-jalan dan melakukan hal-hal yang kau suka hari ini," jawabnya pasti lalu tersenyum lebar yang memperlihatkan gigi-giginya.
Wajahnya yang lucu mau tak mau membuatku tersenyum juga. Kakakku, orang yang paling baik sedunia, tidak ingin aku sendirian melewati hari yang menyedihkan ini. Dialah yang merangkulku seharian ketika aku tak berhenti menangis saat mengetahui bahwa pacarku meninggal di rumah sakit. Saat itu, aku tak mau makan dan keluar dari kamar hingga berhari-hari.
Setelah kami siap, kami keluar rumah lalu menuju kafe terlebih dahulu. Kakakku bergegas menuju ruang karyawan untuk menemui Alex, sementara aku duduk di kursi yang menghadap ke luar kafe.
Hari yang terlalu indah untuk peringatan yang menyedihkan...
Mataku bergerak-gerak memperhatikan orang-orang yang berjalan melewati kafe. Ada yang berolahraga, berjalan bersama anjingnya, makan roti panas dan minum kopi pagi, berjalan santai dengan anaknya, dan seorang pria yang meringkuk kedinginan di samping tempat sampah di seberang jalan.
Tunggu, meringkuk kedinginan?
Kupusatkan perhatianku kepada orang itu. Ia nyaris tak bergerak, tetapi bahunya bergetar tak beraturan.
Baru saja aku hendak beranjak keluar dari kafe ketika pintu ruang karyawan terbuka dan kakakku mengajakku untuk pergi. Aku melambaikan tangan kepada Alex dan mengikuti kakakku keluar dari kafe. Aku melihat ke arah tempat sampah lagi dan tak kutemukan pria tadi.
***
Peringatan kematian untuk Ken, pacarku, berjalan dengan lancar, meskipun aku masih terisak sembari menaburkan bunga di atas kuburannya. Selama upacara peringatan aku duduk di samping orangtua Ken. Mereka juga menangis ketika menaburkan bunga.
Orangtua Ken selalu memperlakukanku seperti putri mereka sendiri karena Ken adalah anak tunggal. Selama ini mereka juga membantu membiayai aku dan kakakku.
Satu per satu para tamu pulang setelah mengucapkan bela sungkawa dan kata-kata penguatan untuk orangtua Ken dan aku. Kudekap ibu Ken sebelum beranjak pulang.
"Terima kasih telah mencintai Ken selama dua tahun ini," bisiknya lembut.
"Sama-sama Tante, selama ini Ken, Tante, dan Om juga telah menjagaku dengan tulus," balasku sembari menepuk-nepuk punggungnya.
"Mari Om, Tante," pamitku lalu aku dan kakakku pun pergi meninggalkan pemakaman.
***
Setelah pergi dari pemakaman, kami pergi ke taman untuk berbincang-bincang. Kami sedang berjalan di pinggir danau ketika langit telah berubah menjadi jingga.
"Aku senang kau tidak murung lagi," katanya memulai pembicaraan.
"Aku tidak ingin mengenang Ken sebagai mimpi buruk. Ia adalah kenangan yang indah," jawabku.
"Aku senang mendengarnya," jawabnya sambil tersenyum.
"Kau tahu? Sebenarnya aku tidak pernah benar-benar mengenal Ken sebelum kau pacaran dengannya. Aku masih ingat saat dia bilang minta restu dariku untuk pacaran denganmu," katanya sambil tertawa kecil."Ken itu memang tidak bisa ditebak... aku saja tidak menyangka ia belajar gitar selama sebulan penuh hanya untuk memainkan lagu Für Elise pada hari ulang tahunku..." kataku sambil mengingat-ingat apa saja yang ia lakukan untukku. Dia benar-benar seorang pacar yang manis...
"Hei, apakah kau masih ingat pada hari ulang tahunmu juga, dia tersedak coklat panas? Ia batuk-batuk sangat keras, sampai-sampai ada coklat yang keluar dari hidungnya?" kakakku tak bisa menahan tawanya. Kami pun tertawa bersama-sama. Ya, itu hanya sebagian kecil kenangan kami tentang Ken. Senja itu kami habiskan dengan membicarakannya. Kami baru berjalan pulang saat langit sudah menjadi gelap.
***
A/N : halooo.... jangan lupa comment ya... saran dan kritik akan sangat membantu
Terima kasih!!! :))
YOU ARE READING
Two Hearts
FantasySeharusnya aku hidup sebagai seorang gadis yang normal. Setelah peringatan kematian pacarku setahun yang lalu, aku pulang ke rumah dan mendapatinya meringkuk kedinginan tak sadarkan diri. Entah apa yang merasukiku saat itu; kuputuskan untuk merawatn...