Sofia POV
Beberapa hari selanjutnya berjalan dengan "cukup" baik. Maksudnya, saat pertama kali aku tidak bisa menyalahkan kakakku yang terkejut dan marah karena kehadiran seorang pria di rumah keesokan harinya, dan setelah aku menjelaskan keadaan dengan panjang lebar akhirnya ia mau menerima Thomas di rumah.
Thomas sendiri? Kuakui ia anak yang aneh. Beberapa kali aku memergoki dia menatap sendu wajahnya di cermin, dan beberapa kali kulihat irisnya berubah warna menjadi merah dan pupilnya menjadi oval seperti pupil kucing, atau... entahlah, mungkin hanya perasaanku saja.
Oh iya, dan dia hanya mau makan bubur.
"Sofiaaa," uh oh, kakakku memanggilku.
"Ada apa?" aku menghampirinya yang ternyata sedang memasak sarapan di dapur.
"Thomas harus pergi dari rumah seharian ini," ucapnya tegas.
"Eh? Kenapa?"
"Nanti ayah dan ibu akan kemari. Mereka ingin makan malam dan berbincang dengan kita."
"Haahh???" aku bahkan tidak menyangka mereka tidak memberitahuku terlebih dahulu. Ini hal yang sangat gawat. Orang tua kami tidak boleh tahu jika ada seorang lelaki tinggal satu rumah bersama kami.
"Kalau begitu aku akan memberitahu Thomas sekarang," ucapku lalu segera menuju ke kamar tamu. Tak lupa aku mengetuk pintunya terlebih dahulu.
"Thomas, Thomas, buka pintunya!! Ada hal yang sangat penting!!!"
Setelah beberapa kali aku mengetuk akhirnya pintu terbuka, menampilkan wajah bangun tidur Thomas dengan rambut acak-acakan dan liur di sudut bibir.
"Ada apa Sofia? Ini masih pagi sekali," tanyanya dengan suara serak.
"Cepat mandi, sarapan, lalu keluar dari sini!!! Orangtuaku akan kemari hari ini!" aku tidak bisa tenang sekarang. "Dan jangan lupa bersihkan kamarmu dan bereskan baju--ah! Bajumu kan hanya itu... " ujarku teringat sesuatu. Selama ini Thomas meminjam bajuku yang ukurannya besar (aku memang suka memakai baju longgar). Tetapi jujur, aku tidak mengerti bagaimana dia mengganti baju dalamnya...
Ia mengangguk, "Baiklah, aku mandi sekarang."
***
Syukurlah hari ini hari Sabtu, maksudnya aku tidak sekolah hari ini, jadi aku memutuskan untuk menemani Thomas keluar rumah, sekaligus karena aku ingin jalan-jalan menenangkan pikiran setelah seminggu sekolah. Kami memutuskan untuk jalan-jalan di pinggir sungai dekat pusat kota.
"Sofia," panggilnya memulai pembicaraan.
"Apa aku benar-benar merepotkanmu?"
Pertanyaannya barusan membuatku terdiam. "Apa maksudnya?? Yaaa.... mungkin hanya bahan makanan yang harus lebih sering beli sih. Hahaha," aku tertawa canggung.
Dia tidak tersenyum sedikitpun, "Aku serius. Apakah keberadaanku merepotkan kalian berdua?"
Aku berhenti dan menghadapnya. "Kami baik-baik saja dengan atau tanpa keberadaanmu Thomas, sebenarnya kami masih mendapat bantuan finansial dari orangtua kami, kami saja yang menolaknya. Keberadaanmu tidak berpengaruh." jawabku jujur.
Dia tersenyum lega. "Syukurlah kalau begitu. Sebenarnya Sofia, aku bukanlah seperti yang kau pikir."
Aku tersenyum jahil menatapnya. "Maksudnya kau sebenarnya orang kaya yang menyamar menjadi gelandangan dan minta-minta pada orang asing dan jika orang itu membantumu dengan tulus kau akan memberinya hadiah?"
YOU ARE READING
Two Hearts
FantasySeharusnya aku hidup sebagai seorang gadis yang normal. Setelah peringatan kematian pacarku setahun yang lalu, aku pulang ke rumah dan mendapatinya meringkuk kedinginan tak sadarkan diri. Entah apa yang merasukiku saat itu; kuputuskan untuk merawatn...