Sofia POV
Makan malam terasa sangaaat lama. Tanpa sadar aku hanya melamun memikirkan Thomas. Bagaimana jika dia kedinginan lalu jadi gila seperti waktu itu? Bagaimana jika tanpa sengaja dia membunuh orang?
Sepasang mata menatapku dengan tajam, "Sofia, apakah kamu mendengarkan ibu?"
Kakakku menepuk bahuku dengan sedikit kasar, membuatku tersadar. Aku mengerjapkan mataku, "Ah, maaf ibu, tadi aku tidak memperhatikan..."
Beliau hanya menarik nafas panjang, "Sofia, kau harus menghormati orang lain yang sedang berbicara, apakah aku tidak memberitahumu tentang itu?"
"Maaf ibu..."
Ayahku menghela nafas panjang, "Aku mengerti kalian tidak mau tinggal terpisah satu sama lain, Angela juga telah dewasa, dan Sofia sudah SMA, apa kalian benar-benar tidak ingin tinggal bersama kami?"
"Tidak, ayah. Kami baik-baik saja tinggal disini berdua. Kami belajar menjadi lebih dewasa," jawab Angela.
Setelah mendengar jawaban dari kakakku, mereka memandang satu sama lain dengan penuh arti."Baiklah, mungkin memang sudah waktunya kalian untuk hidup mandiri."
Setelah itu kami berempat menghabiskan malam dengan menonton film sampai jam menunjukkan angka tengah malam. Dan tanpa kusadari, aku sama sekali melupakan Thomas...
***
Keesokan harinya, setelah mengucapkan salam perpisahan pada kedua orangtuaku (mereka menginap semalam di rumah kami), aku memutuskan untuk menonton tv.
Saluran kesukaanku sedang menayangkan berita. Berita utama pagi ini adalah kebakaran sebuah kelab malam yang ada di dekat taman.
Aneh, sepertinya itu taman tempat aku meninggalkan T- Oh tidak! Thomas!
Langsung saja kusambar jaket dan sepatuku lalu lari menuju taman itu. Keadaannya sangat parah. Banyak orang berkumpul dan melihat-lihat tempat kejadian. Dengan susah payah aku melewati mereka dan mencoba mencari Thomas. Laki-laki itu tidak kutemukan dimanapun. Aku masih berputar-putar mencarinya ketika petugas pemadam kebakaran berteriak menyuruh kami untuk mundur dan memberi jalan. Api memang sudah padam dini hari tadi, tetapi evakuasi korban baru dapat dilakukan sekarang. Tidak lama kemudian, para korban mulai keluar dengan terhuyung-huyung dari dalam gedung. Mereka langsung mendapat bantuan dari paramedis yang bersiaga. Reporter-reporter berdatangan dari mana saja dan mulai menanyai korban-korban tersebut.
"Aku hanya minum satu gelas... tiba-tiba saja api muncul dari segala arah!" ucap seorang wanita yang wajahnya penuh dengan jelaga. Tidak ada luka yang terlihat badannya.
"Aku lihat! Mata merah, wajah setan, dia yang menyebabkan kebakaran!!!" teriak seorang pria yang kakinya berdarah. Sepertinya ia mengalami patah tulang.
Astaga! Aku tidak salah lihat waktu itu! Mata Thomas benar-benar merah. Pasti yang mereka maksud Thomas! Segera saja kudekati pria itu. "Anda melihat orangnya? Yang matanya merah?"
Ia berbalik menatapku. "Benar, persis sekali matanya merah dan pupilnya seperti kucing! Dia setan!" teriaknya lalu langsung ditenangkan oleh paramedis. "Tuan, kaki anda patah. Lebih baik anda tenang agar sakitnya tidak bertambah."
"Maaf," jawabnya lalu lebih tenang. "Kau harus percaya padaku. Dia benar-benar setan. Setelah aku melihatnya, tiba-tiba saja muncul percikan api dari segala arah. Sepertinya dia adalah penyebab kebakaran ini. Dia gila, man. Setelah itu dia berkelahi dengan seseorang yang sudah sangat mabuk. Kami tidak bisa berbuat apa-apa karena api semakin besar. Kami seperti terkepung. Kami pikir akan mati pada saat itu, namun, kejadian aneh lainnya muncul." Dia menarik napas.
"Muncul gelembung warna biru disekeliling kami. Gelembung itu melindungi kami dari api, namun kakiku terlanjur tertimpa tiang. Tetapi untunglah kami semua selamat. Itu seperti keajaiban," Ceritanya lagi. Aku ingin bertanya lebih lanjut tetapi paramedis melarangku. Setelah mengucapkan terimakasih, akupun menjauh dari pria itu.
Semakin banyak korban yang keluar dari sisa-sisa gedung. Namun tak kutemukan Thomas dimana-mana. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke rumah. Ketika melewati taman, aku mendengar suara rintihan dari balik semak-semak. Suaranya mirip Thomas. Akupun mendekat dengan setengah berlari.
"Astaga Thomas! Kau ini kenapa?!" tanyaku panik melihat tubuhnya yang penuh luka. Posisinya meringkuk, bajunya robek, rambutnya acak-acakan.
"Di-dingin..." dia hanya mampu mengucapkan kata itu. Aku hendak berlari bermaksud untuk memanggil paramedis, tetapi tangannya mencekal pergelangan tanganku.
"Jangan, a-aku ingin pulang."
"Tidak Thomas, luka-lukamu itu parah. Kau harus mendapat perawatan medis."
"Sof-sofia, luka-luka ini tidak sakit. A-aku lebih takut jika tidak bisa mengendalikan tubuhku, a-aku mungkin membunuhmu, Sofia." Sesudah mengatakan itu, ia menatapku. Aku terdiam. Benar saja, Thomas yang kulihat sekarang bermata merah. Jika ketahuan oleh korban dan saksi, dia bisa ditangkap.
Aku tidak bisa bohong jika sebenarnya saat ini aku takut. Tapi, dasar remaja, penasaran mengalahkan rasa takutku, jadi aku memutuskan untuk membawanya ke rumah dengan menyembunyikan mata merahnya. Aku melepas jaketku dan menggunakannya untuk menutupi kepala Thomas sampai ke wajahnya. Kubiarkan dia setengah memelukku sebagai sandaran. Kamipun segera beranjak dari situ.
***
Kami sampai di rumah dengan selamat. Dengan segera kubaringkan dia di tempat tidur dan kupotong bajunya yang terlanjur sobek. Astaga, luka-lukanya bahkan lebih mengerikan. Setelah membersihkan badannya dengan air hangat, aku mulai mengobati lukanya dengan obat seadanya. Untunglah dia sudah lebih tenang. Untuk itu kumasakkan bubur seperti biasa untuk mengisi perutnya, karena ia pasti belum makan.
"Maafkan aku," katanya tiba-tiba setelah menelan suapan bubur terakhir.
"Jangan minta maaf padaku, kau tidak berbuat salah padaku."
"Tapi aku seharusnya tetap minta maaf padamu. Aku ini buronan, Sof. Aku si biang kerok kebakaran kelab itu. Seharusnya aku ditangkap."
Uh, oh. Benar juga.
"Dan sebenarnya hidupmu juga dalam bahaya jika dekat-dekat denganku," katanya lagi sembari menunduk.
"Maksudmu hidupku berada diujung tanduk saat matamu merah dan pupilmu lonjong?"
Matanya terbelalak, "Darimana kau tahu?"
Tanpa sadar aku memutar bola mataku, "Duh, sudah seminggu ini kau tinggal di rumahku. Kaupikir aku tidak tahu jika kau punya kebiasaan aneh? 'Bertindak bodoh saat matamu berwarna merah'. Mata itulah yang hampir membunuhku saat pertama kali kita bertemu!"
Wajahnya memerah menahan malu, mungkin karena rahasianya telah terbongkar, "Tolong jangan beritahu siapa-siapa perihal ini."
Really, man? "Kau itu manusia paling aneh yang pernah kutemui. Tingkahmu aneh, fisikmu aneh, sebenarnya kau itu siapa sih?"
"Aku ingin memberitahumu, Sofia, sungguh. Tapi aku takut jika nantinya kau akan mengusirku dari sini, karena aku tidak punya tujuan lain lagi. Aku takut akan bertindak lebih bodoh lagi jika diluar."
"Aku janji tidak akan mengusirmu. Sebaliknya, aku akan membantumu untuk menjadi lebih 'normal', jika kau paham maksudku." Jawabku mantap.
Sejenak ia menatapku dengan ragu, lalu mulai berkata hal yang sama sekali tak kupikirkan sebelumnya.
"Aku ini pangeran neraka."
***
YOU ARE READING
Two Hearts
FantasySeharusnya aku hidup sebagai seorang gadis yang normal. Setelah peringatan kematian pacarku setahun yang lalu, aku pulang ke rumah dan mendapatinya meringkuk kedinginan tak sadarkan diri. Entah apa yang merasukiku saat itu; kuputuskan untuk merawatn...