TAD tujuh

7.6K 1K 18
                                    

Siang ini aku mencoba peruntungan di tempat parkir. Menunggu kemunculan Ali di dekat motornya berada. Lima belas menit berlalu dari jam pulang sift pagi, tapi dia belum juga muncul. Handphone dalam genggamanku tidak berhenti bergetar dengan satu nama yang sama, Yaumi. Aku sudah memberitahunya aku akan telat masuk sift siang. Anggia sudah mengizinkan, tapi Yaumi terus menerorku menanyakan ada apa.

Berkali-kali aku harus berpura-pura mencari sesuatu di dalam tasku, atau sedang telepon, saat ada orang yang datang atau pergi dari tempat parkir. Kalau bukan demi ketentraman hidupku mana sudi aku begini. Kesalahanku adalah tidak menghubunginya terlebih dahulu, haruskah aku hubungi sekarang? Menanyakan di mana dia sekarang gitu.

Insting waspadaku tiba-tiba menyala saat ada suara orang yang berbincang dari lorong pintu keluar RS. Panik, aku mencari tempat bersembunyi. Beruntung dekat tempatku berdiri ada sebuat tiang besar yang cukup menutupi tubuhku.

"Mau makan dulu atau langsung pulang?"

Aku mengenal suara itu. Suara milik orang yang sejak tadi aku tunggu. Dia sedang bersama orang lain, membuatku mengurungkan niat untuk menemuinya. Hari ini aku tidak beruntung. Semoga saja Ali belum menceritakan insiden pulang bersama kemarin kepada siapapun.

"Pulang saja. Kita makan di rumah," suara lembut perempuan menyahut.

Ali berseru riang. "Yes. Akhirnya aku makan masakanmu lagi."

Keningku berkerut melihat keantusiasan Ali yang berlebihan, atau ini hanya perasaanku saja? Tidak ada lagi percakapan yang aku dengar sampai suara besar motor Ali terdengar kemudian semakin lama semakin menghilang.

***

"Jadi, ke mana dulu kok telat?"

"Nggak ke mana-mana Um. Cuma tadi ketiduran aja, jadi telat."

Selepas magrib, aku, Yaumi, dan Anggia duduk lesehan bertiga di ruang istirahat. Menikmati nasi ayam bakar jatah makan dari rumah sakit. Pasien sore ini aman terkendali, jadi kami bisa sedikit santai-santai.

"Mosok? Kok aku nggak percaya," kata Yaumi dengan tulang ayam di tangannya.

Jarang sekali aku bisa membohongi Yaumi. Entah dia yang terlalu peka atau aku yang bego kalau urusan mengarang cerita. Padahal aku ngomongnya lancar nggak pakek tersendat-sendat, tapi masih saja Yaumi nggak percaya.

"Beneran Um."

"Kamu percaya Gi?"

Anggia menenggak air putih dari botol tupperware hijau miliknya sendiri sebelum menjawab. "Nggak percaya sih. Cuma biar Prilly seneng kita iyain aja Um."

Aku berdecak. "Kalian ini masa nggak percaya aku sih? Kapan aku pernah bohong coba?"

"Barusan. Barusan kamu bohong." Yaumi mengakiri sesi makannya dengan membuang sterofromnya ke dalam bak sampah.

"Prill. Daripada kamu bohong begini, mending kamu bilang nggak bisa cerita ke kita. Itu lebih baik Prill. Kita juga tahu nggak semua urusan pribadi kamu, kami harus tahu, tapi sebagai teman kami berhak tahu kamu dalam keadaan baik atau sedang ada masalah."

Kalau Anggia sudah buka suara, aku hanya bisa diam. Anggia, Yaumi, mereka teman-teman terbaik selama aku di sini. Anggia yang paling dewasa. Yaumi yang paling cerewet. Menyembunyikan sesuatu dari mereka bukanlah kebiasaanku, mungkin itu sebabnya mereka seperti ini.

"Apa ada hubungannya sama ulahku bikin gosip di grup?" Yaumi kembali duduk di sampingku setelah mencuci tangannya, bergantian dengan Anggia.

"Antara iya dan enggak sih."

The annoying doctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang