TAD empat belas

7.7K 1.1K 79
                                    

Senyum tak pernah lepas dari bibirku sejak kemunculannya di depan pintu. Baju batik berlengan panjang sungguh membuat Ali tampan rupawan. Yah, aku sebenarnya tidak peduli dia memakai apa hari ini. Aku sejak bangun tidur pagi tadi hanya berdoa Ali datang sesuai janjinya.

"Apa kita pesan grab saja?" tanyanya tak enak hati.

Dia datang membawa motornya seperti biasa. Sedikit membuatku kesusahan naik karena aku memakai jarit selutut dan kebaya modern. High heelsku turut menambah keriwehan saat kami akan berangkat ke hotel tempat pernikahan dilakukan.

Aku menggeleng menolak tawarannya. "Ayo jalan. Aku siap."

"Serius?" Ali menoleh kebelakang. "Kalau kamu nggak nyaman kita pesan grab aja. Maaf ya saya adanya motor."

"Nggak apa-apa ih. Aku sudah biasa naik motor. Cuma ini agak kesusahan soalnya tinggi banget. Tapi sekarang aman kok. Hayuk, nanti kemalaman."

"Pegangan kalau gitu."

Keningku berkerut. Ali mengatakan itu dengan nada biasa saja. Tidak ada ada kesan modus atau apapun. Hal itu justru membuatku bingung sendiri. Ali bersikap seperti orang yang sudah lama dekat denganku, tidak ada kecanggungan.

"Pegangan, Prilly."

"Ini udah," jawabku. Aku menepuk bahunya menunjukkan aku sudah pegangan.

Ali berdecak. "Pegangan itu di sini." Dia menarik tangan kananku untuk melingkari pinggangnya. Ya Allah, jantungku.

Posisiku yang membonceng miring, membuat pipiku menempel pada punggungnya. Menit-menit awal aku berusaha menahan tubuhku agar tidak bersandar pada punggungnya. Namun lama-lama capek juga, jadi ya sudah rejeki jangan ditolak.

"Bisa turun?" Tangan Ali berusaha membantu memegangiku saat kami sudah sampai di lobi hotel. "Sini helmnya. Tunggu di sini ya, saya parkir dulu."

"Iya."

Menanti Ali, aku berdiri di depan pintu masuk hotel. Tamu undangan sudah berdatangan. Banyak dari pegawai rumah sakit yang datang dan menyapaku, mengajakku untuk masuk tapi kutolak.

"Dokter duluan saja. Saya nunggu teman yang lagi parkir motor," jawabku saat Dokter Jibril datang bersama istrinya.

"Sama siapa kamu?" tanyanya. Kepalanya sudah sibuk menoleh mencari-cari. "Yaumi?"

Aku hanya tersenyum, bingung menjawab apa. Untung saja perhatian Dokter Jibril teralihkan karena ada teman Dokternya yang menyapa dan mengajaknya masuk. Aku kembali pada kesibukanku mengamati sekitar. Sedikit heran dan kagum karena sepanjang mataku melihat, banyak sekali laki-laki berbadan kekar seperti bodyguard yang berseliweran. Di tangan mereka selalu menggenggam HT.

"Penjagaannya ketat banget."

Otot-otot pada leherku rasanya sangat kaku. Perasaanku mengatakan ada seseorang yang sedang mengamatiku dari belakang. Begitu aku memutar badan, mataku langsung bertemu dengan mata coklat bening milik seseorang, Adam, teman Dokter G.

Aku langsung tersenyum sambil mengangguk. Adam membalas senyumku, dan langkah kakinya bergerak mendekat. Mpus. Adam memakai kemeja putih dibalut dengan vest berwarna abu-abu senada dengan celana kain slimnya. Pantovel hitamnya mengkilap sempurna.

"Nggak masuk?" tanyanya begitu sampai di depanku.

"Masih nunggu temen Mas Adam."

Adam mengangguk mengerti. Sambil tersenyum dia mengamatiku dari atas sampai bawah. Duh. "Lo beda banget kalau nggak pakai seragam."

"Pangling ya?" Entah, bersamanya aku mudah untuk berbicara santai.

"Lumayan. Tadi makanya gue cuma lihatin doang. Takut salah orang."

The annoying doctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang