TAD delapan

8.2K 1.1K 59
                                    

"Pucet banget muka kamu, Prill?"

Pertanyaan dari kepala ruanganku ini membuat mata-mata yang lain langsung tertuju padaku. Yaumi yang kulihat saat datang tadi sedang serius mendengarkan Robiah menjelaskan satu-persatu pasien pagi ini, langsung mendekatiku. Mengamatiku dengan serius lalu menempelkan punggung tangannya pada keningku.

"Nggak panas. Kamu begadang?"

"Hehe. Iya. Aku lembur lihat goblin."

Jawabanku membuat semuanya berseru. Kecuali Yaumi yang malah menyipitkan mata menatapku curiga. Kukedipkan sebelah mata padanya sebagai kode, akan kuceritakan nanti. Yaumi mengangguk kecil lalu berlalu memenuhi panggilan Robiah untuk kembali melanjutkan operan.

"Anggia belum dateng ya Bun?"

"Udah. Cuma dia langsung ke atas."

Keningku berkerut. "Mau rapat lagi?" Bunda Sugik mengangguk. "Sepagi ini? Trus kok Bunda masih di sini? Nggak ikut rapat?"

"Ikut. Makanya jam segini aku udah di sini. Cuma ini lagi nungguin Dokter Jarot, beliau mau ada SC gemeli pagi ini."

"Lhah ... trus ngapa emang kalau ada SC, Bun? Kan ada kita-kita."

"Ini pasien VIP. Bukan cuma VIP tapi ini bayi mahal. Riwayat tiga kehamilan sebelumnya, bayinya semua meninggal pada waktu melahirkan. Pasien minta yang menangani petugas senior."

"Ohh."

Jangan heran. Pasien adalah ratu, apalagi VIP. Permintaannya akan selalu diusahakan terpenuhi oleh rumah sakit swasta seperti ini. Pemenuhan permintaan juga termasuk dalam usaha membuat kebutuhan kenyamanan pasien terpenuhi. Dari segi tindakan dan pengobatan, persalinan normal maupun SC, untuk pasien biasa dan VIP sebenarnya tidaklah ada bedanya. Sama saja.

"Tapi Bun, kalau SC kan nggak ada bedanya aku atau Bunda yang di sana. Tugas kita menerima bayi lalu memberikannya pada perawat neonatus."

"Ini masih mau diskusi makanya sama Dokter Jarot Prill. Kalau hari ini nggak ada rapat buat akreditasi RS lagi sih aku siap, sama kamu gitu. Kan gemeli. Lha masalahnya ada rapat. Tapi kalau nggak ada solusi ya terpaksa telat datang rapat. Keselamatan dan kepuasan pasien kan yang utama."

"Hooh."

Tak berselang lama setelah Robiah, Wika, dan Giya pulang, rombongan dokter datang. Ada Dokter Jarot, Dokter Jibril, dan satu lagi Dokter yang berpotensi mematahkan hatiku, Ali.

Percakapanku lima hari lalu dengan Anggia dan Yaumi cukup membuatku berpikir keras. Bertanya pada hatiku sendiri apa isi di dalamnya. Adakah jentik-jentik bakal adanya rasa berbeda untuk dokter menyebalkan itu. Adakah kepompong-kepompong yang siap bermetamorfosis menjadi ulat lalu kupu-kupu.

Untuk menemukan jawabannya tidak semudah seperti menentukan diagnosa untuk pasien-pasienku. Dari sudut mana bisa-bisanya muncul rasa itu? Mulai sejak kapan? Seingatku tidak ada masa-masa yang bisa menyebabkan perubahan haluan hatiku dari rasa sebal ke suka. Janganlah dulu kita bicara cinta. Belum sampai ke sana.

"Selamat pagi Ibu Sugik?" Seperti biasa.

"Pagi Dokter Ali," sambut Bunda Sugik tak kalah ramah.

Percaya atau tidak dadaku berdebar-debar entah mengapa. Aku harus menggigit pipi bagian dalamku untuk mencegah bibir ini tersenyum. Tanganku panik mencari apa saja yang bisa kulakukan. Sialnya, bukannya langsung duduk seperti yang lain, Dokter Ali justru memilih berdiri bersender pada almari sepertiku, di sampingku.

"Pagi Mbak Prilly." Ingat napas Prilly.

"Hmm ... pagi."

Ali senyum-senyum nggak jelas di sampingku. Berdiri sangat dekat sampai lengan berbalut jas putihnya menempel pada lenganku. Tatapan matanya lurus pada diskusi yang ada di meja. Ingin sekali rasanya ngusir dia untuk jauh-jauh, tapi kan nggak sopan.

The annoying doctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang