"Gue bukan bidak catur yang bisa lo gerakin ke sana ke mari. Gue, Ariel, punya permainan sendiri yang gue jamin akan gue menangkan." - Ariel Magena Neala
Zaman sekarang, mencari orang yang tulus sama seperti mencari jarum di dalam tumpukan jerami. S...
Kalau kalian mencari orang yang pandai mengalihkan fokus lawan bicara, maka Ariel-lah orangnya.
"G-gue minta maaf, nggak seharusnya gue sembunyiin itu dari lo," Mata Ariel menatap nanar Bianca.
"Apaan, sih? Yang sakit sebenernya kaki atau otak lo?"
Ariel bingung. Darimana juga Bianca tahu dia disini? Tania atau Mira?
"Jadi sekarang lo lagi PDKT sama Alvin? Apa udah jadian? Makanya lo ngerasa bersalah karena nggak ngasih tahu gue?"
Ariel semakin bingung.
"Alvin?"
"Dasar aneh. Dia nitip ini ke gue. Dia dipanggil guru tadi makanya nggak bisa ngasih langsung." Bianca menjelaskan dan menyodorkan cokelat dari Alvin.
Mungkin Alvin yang nabrak gue tadi, pikir Ariel.
"Makasih, tapi dia bukan pacar gue."
"Terus cokelat ini?"
"Bukan apa-apa."
Bianca tetap menanyakan banyak hal padanya sambil membantu meneteskan povidine-iodine pada luka Ariel. Ariel terpaksa menjelaskan sambil menahan perih dikakinya. Aneh, biasanya Bianca tidak sepenasaran ini.
Lima menit sebelum bel masuk berbunyi, mereka berdua bergegas meninggalkan ruang UKS.
Kok kayak ada yang kurang, ya? batin Ariel.
"Ah! Astaga, tas gue ketinggalan." ucapnya sambil menepok jidat.
"Yaudah sana ambil. Gue duluan. Bentar lagi bel dan gue nggak mau kena omel guru," balas Bianca cepat lalu meninggalkan Ariel.
Namun saat Ariel berbalik, seseorang menyandungnya. Membuat kakinya—yang bahkan belum sembuh—semakin sakit. Tunggu, seseorang ini membawa komplotan dengan tangan bersedekap di dada.
Merekapikirmerekagirlband?
Benar-benar menyulut emosi Ariel.
"Apa-apaan, sih?" omel Ariel.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Jadi anak baru nggakusah belagu lo!"
"Jangan sok iye deh, lo bahkan nggak selevel sama kita,"