"Gue bukan bidak catur yang bisa lo gerakin ke sana ke mari. Gue, Ariel, punya permainan sendiri yang gue jamin akan gue menangkan." - Ariel Magena Neala
Zaman sekarang, mencari orang yang tulus sama seperti mencari jarum di dalam tumpukan jerami. S...
"HAH? UDAH JAM SEGINI! KENAPA GUE NGGAK DENGER ALARM?!" teriak Ariel pada dirinya sendiri setelah melihat ponselnya menunjukan pukul 06.45.
Kesiangan. Pasti karena semalam dia tidur terlalu larut. Ariel tidak bisa tidur setelah membaca pesan Tania semalam. Dia berpikir, apakah Bianca hanya pura-pura tidak tahu soal itu?
Nanti aja deh telpon balik. TUJUANUTAMA: KAMAR MANDI! Ariel menatap nanar ponselnya yang masih berbunyi.
Kakinya sudah cukup pulih untuk mengendarai skateboard, berkat urutan ibunya setelah dia pulang dari rumah sakit.
Tanpa lupa menggendong tasnya, Ariel menyusuri jalan menuju sekolah.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ariel sampai di sekolah pukul tujuh lewat lima menit. Lima menit yang berharga.
Sekarang disinilah dia berdiri, didepan guru piket, bersama Alvin. Alvin. Ah, jantungnya tidak bisa berdegup normal. Tidak mungkin kan Ariel suka padanya?
Nggak. Nggak boleh suka. Play it cool, Riri.
"Kalian berdua tunggu sini. Ibu mau ambil sesuatu," ucap guru piket itu. Widya Arningsih. Ariel membaca badge nama yang tertempel di kemeja guru itu.
Tunggu, Ariel ingat. Guru inilah yang membubarkan geng sok iye yang membulinya kemarin.
"Hai." sapa Alvin. Tidak ada cengiran diwajahnya. Tumben.
"Hai, Vin. Lagi galau lo?" balas Ariel.
"Lo tahu nama gue?" tanya Alvin.
Aneh, batin Ariel.
Dia hanya berdecak kesal. Mungkin Alvin sedang mencoba mempermainkannya.
"Kaki lo udah baikan?" Akhirnya Alvin mengeluarkan pertanyaan normal.
"Lumayan." jawab Ariel.
Hanya itu percakapan yang berlangsung sampai guru piket kembali membawa sebuah buku dan pulpen.