Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi

Six

17.5K 1.4K 9
                                    

"Menginaplah di sini."

Tatapanku sontak melebar. "A-apa?"

"Ini sudah sangat malam, sebaiknya kau menginap di rumahku untuk malam ini."

Dengan cepat aku menggeleng. "Tidak, tidak perlu aku bisa pulang." Yang benar saja, dia pikir aku wanita murahan?

"Selain pengawal dan pelayanku, hanya aku yang tinggal di sini. Kau bisa menempati kamar kosong yang ada di sini."

Aku menelan saliva, aku pikir dia akan mengajakku tidur bersama. Astaga, Stephanie apa yang kau pikirkan?! Ah tetapi tetap saja, aku harus bersikap jual mahal agar membuatnya tidak berpikir jika aku gampangan.

"Aku tidak bisa, Luca."

"Besok pagi pengawalku akan langsung mengantarmu, kau tidak perlu khawatir."

Aku terdiam seolah sedang berpikir. "Baiklah," jawabku akhirnya.

Aku pun berjalan dari ruang tamu mengikuti langkah Luca menyusuri Rumah mewahnya yang luas dan besar ini. Bibirku hampir menganga lebar melihat interior rumah mewah ini, bagaimana tidak, sepanjang hidupku ini pertama kalinya aku berada di rumah seperti ini.

"Kemana orang-orang?" tanyaku akhirnya, ini adalah kesempatan untuk aku mencari tahu tentang dirinya.

Ia berjalan menuju tangga yang meliuk ke lantai atas dan aku mengikuti langkahnya.

"Kurasa pelayan sudah beristirahat," katanya tanpa menghentikan langkah.

"Maksudku keluargamu."

Luca menghentikan langkahnya, ia kemudian melirikku.

"Aku hanya tinggal sendiri."

"Pasti terasa sepi."

Luca menyunggingkan senyumnya. "Ya, kau benar." Ia lalu melanjutkan langkahnya hingga kami berada di depan sebuah pintu berwarna putih tulang. "Ini kamarmu." Ia membuka pintu itu lalu mengedarkan pandangannya ke sekitar kamar.

"Aku harap kau nyaman di kamar ini."

"Terima kasih, Luca," kataku membuatnya menatapku.

Ia terdiam menatapku sejenak lalu perlahan matanya bergerak menyusuri tubuhku. Sialan, apa maksud tatapan itu?

"Raymond akan membawakan baju ganti untukmu."

Oh.

"Baiklah," kataku gugup.

Luca mengangguk. "Masuklah."

Aku mengulum senyum lalu berjalan masuk ke kamar tersebut.

"Selamat malam," katanya.

Aku menoleh dan hanya mengangguk sambil tersenyum. Luca pun pergi tak lupa menutup pintu kamar. Aku mengedarkan pandanganku. Kamar ini sangat luas dibandingkan dengan kamar yang selama ini aku tempati. Ranjangnya berukuran king size dengan furniture yang lengkap dan lagi tersedia bathroom beserta walk in closet yang masih kosong.

Aku menghela napasku, hanya semalam aku berada di sini dan esok harinya aku harus segera menemui Salvatore. Bagaimanapun aku perlu mengetahui apa yang sedang lelaki itu rencanakan agar aku tahu rencana apa yang harus aku lakukan.

***

Esok harinya setelah selesai sarapan Luca mengantarku kembali ke rumah. Begitu sampai aku segera beranjak keluar namun Luca menahan lenganku.

Aku menoleh menatapnya dengan senyum tipis. "Ada apa?"

Luca terlihat sedang berpikir ia kemudian merogoh saku jas-nya lalu memberikan sebuah ponsel model terbaru kepadaku, aku yakin harga ponsel ini sangat mahal.

Aku mengerut menatapnya kemudian ponsel yang ia sodorkan kepadaku bergantian.

"Gunakan ponsel ini."

"Apa?!" Aku tersentak.

"Di ponsel ini sudah ada nomor milikku."

Aku menggeleng keras. "Tapi, kau tidak perlu memberikan ponsel kepadaku. Kau hanya perlu berikan nomor ponselmu saja."

Luca menarik tanganku lalu meletakan ponsel itu di genggamanku. "Bawa ini, Sophie. Aku tak ingin berdebat denganmu."

"Luca ini sungguh berlebihan."

"Hubungi aku segera jika terjadi sesuatu."

"Tapi, Luca—"

"Mulai saat ini kau berada di bawah perlindunganku."

Aku tercengang menatapnya horor. Lelaki ini semakin membuatku kalut. Apa sih sebenarnya yang ia pikirkan? Kau tidak tahu sedang bersama siapa Luca, justru aku yang berbahaya untukmu! Ingin rasanya aku berteriak seperti itu. Namun tidak mungkin karena sekarang aku sedang menyamar sebagai wanita lemah lembut.

Aku mengedipkan mata, melunakan ekspresi wajahku. Menatapnya lembut. "Kenapa, Luca? Kenapa kau melakukan ini padahal aku hanya orang asing yang baru dikenalmu beberapa hari yang lalu," kataku bersandiwara.

Luca menatapku lekat. "Aku hanya ingin melakukannya."

Sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak menghela napas dan memutar bola mataku. Oh Tuhan ... yang benar saja! Itu bukan jawaban yang aku inginkan. Aku akhirnya mengalah, bagaimanapun ini adalah kesempatan yang besar dan sebuah kemajuan karena aku berhasil membuat Luca masuk ke perangkapku.

"Baiklah, terserah kau saja," kataku mengambil ponsel yang ia berikan.

Luca tersenyum tipis. "Terima kasih."

Aku mengangguk. "Kalau begitu aku pergi dulu," kataku kemudian mengambil paper bag berlabel merk pakaian ternama yang berisi gaunku semalam dan satu setel pakaian baru. "Dan ... terima kasih untuk semuanya," lanjutku.

Ia hanya mengangguk seraya tersenyum. Aku membuka pintu mobil kemudian menutupnya kembali. Kaca jendela penumpang terbuka, Luca melambaikan tangannya kepadaku, aku membalasnya lalu mobil itu segera melesat pergi meninggalkanku.

Marry membuka pintu rumah untukku. Anyway, ini adalah salah satu rumah milik Salvatore yang ia berikan untukku. Awalnya aku tinggal bersama keluarganya, namun setelah beranjak dewasa aku cukup sadar diri siapa aku di sana. Hingga aku memutuskan untuk tinggal terpisah dari mereka agar dapat hidup lebih mandiri.

"Stephanie!" Ia memekik kemudian memelukku erat.

"Kemana saja kau?! Mengapa tak menghubungiku?" Marry memang cerewet.

Aku melepas pelukannya kemudian berjalan masuk, Marry menutup pintu dan berjalan mengekori-ku.

Aku menghempaskan tubuhku di sofa ia lalu menyusul duduk di sampingku.

"Stephanie ...," rengeknya.

Aku menghela napas lalu menyandarkan kepalaku di sandaran sofa.

"Marry aku lelah. Lelaki itu gila."

Mata Marry melebar. "Apa dia menidurimu?!"

Aku langsung mengerut lalu menatapnya tajam. "Apa-apaan kau ini. Itu tidak mungkin!" elakku.

Marry mengerucutkan bibirnya. "Lalu apa yang terjadi?"

"Akan aku ceritakan nanti. Aku perlu bertemu Salvatore dulu," kataku.

Marry mencibirkan bibirnya kesal. Dasar!

"Stephanie, apa itu?" Ia menatap paper bag yang aku letakan di atas meja.

Marry mengambil paper bag itu namun seketika ia langsung memekik kaget. "Oh Tuhan?! Kau dapatkan ini dari mana?! Apa Tuan Huang itu yang membelikanmu?!" katanya kencang.

Aku mendelik kesal melihat responnya yang berlebihan. "Kecilkan nada bicaramu, Marry."

"Stephanie kau sialan beruntung! Mengapa Ayah tidak menugaskanku saja!"

Aku berdecak lalu beranjak bangun.

"Stephanie, seriously? Ini sangat mahal ya Tuhan ... dan pakaian yang kau kenakan itu, apakah dia yang membelikannya juga?" Ia menatap penuh binar paper bag itu lalu beralih padaku.

Aku memutar mataku. "Ambil saja jika kau mau. Ada satu setel lagi di dalam paper bag itu," kataku kemudian berjalan meninggalkannya. Kini aku perlu menemui Salvatore untuk menanyakan rencana sialannya itu.

DANGER: Hate and RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang