Jantungku semakin berdebar kencang. Luca memegang tanganku sangat erat. Ia melontarkan makian dalam bahasa kanton. Salah satu pengawalnya mengatakan bahwa lift telah disabotase. Sementara itu pengawal yang berada di luar sedang berusaha mencari cara untuk mengeluarkan kami yang berada di lift.
Aku semakin tak mengerti situasi ini. Lift gelap dan udara semakin pengap. Luca masih tak mau membuka suara kepadaku. Beberapa kali aku bertanya ia malah mengabaikanku dengan menekan tombol alarm pertolongan dan berbicara dengan pengawalnya.
Aku berpikir bahwa kami memang sedang dalam bahaya, namun siapa yang beraninya membuat bahaya di tempat umum seperti ini?
"Jangan jauh-jauh dariku," katanya setelah beberapa saat kemudian.
Aku seketika menoleh, menatap wajahnya yang remang-remang karena di dalam lift ini hanya ada penerangan lewat senter ponsel saja.
"Apa pun yang terjadi jangan pergi dariku," tegasnya.
Seketika kegelisahan dibenakku perlahan menguar. Well, kekhawatiranku mengenai Luca yang telah mengetahui identitasku akhirnya menghilang. Namun, hal lainnya yang masih membuatku sedikit gelisah adalah sebenarnya apa yang terjadi?
"Luca?"
Ia menunduk menatap wajahku yang mendongak ke arahnya sehingga posisi wajah kami begitu dekat, aku bisa mencium aroma parfum mahalnya.
"Apa yang terjadi?"
Luca menatapku lekat ia diam tak mengatakan apa pun hingga kemudian seseorang dari luar lift berbicara kepadanya.
"Tuan, apakah Anda baik-baik saja?" Seseorang dari luar berbicara kepada Luca.
Luca reflek menoleh menatap pintu lift. "Raymond?! Cepat keluarkan kami dari sini!" ucapnya.
"Kami sedang berusaha Tuan. Seseorang telah menyabotase liftnya," teriaknya dari luar.
"I know!" bentak Luca tak sabar.
Aku terperanjat, begitu pun pengawal yang berada di dalam lift. Mereka tak berani menenangkan Luca.
"Lima menit Raymond. Jika lebih dari itu aku akan mencekikmu!" geramnya lagi membuatku merinding.
"Ba-baik, Tuan," ujar Raymond ketakutan.
Aku meringis mendengar ancamannya. Namun, aku memilih untuk menenangkan lelaki itu dengan menyentuh lengan tangannya.
Tanpa menunggu lama pintu lift pun terbuka. Keadaan kami—yang berada di dalam lift—begitu kacau. Luca masih emosi, petugas keamanannya sudah bersiap untuk mengiring Luca menuju basement.
"Petugas sedang menyelidiki ini Tuan," ujar lelaki berkepala plontos yang kurasa bernama Raymond karena suaranya sama dengan orang yang berbicara kepada Luca sewaktu di dalam lift.
"I don't fucking care! Cepat bawa aku menuju mobil!" katanya, Raymond hanya mengangguk gugup kemudian segera menginstruksikan kepada pengawal lainnya agar mengawal kami menuju basement.
Aku dan Luca lalu berjalan dengan dikawal mereka dan Luca masih tak mau melepaskan genggamannya dariku.
***
Kami sudah berada dalam perjalanan pulang. Mobil pengawal Luca melaju di depan mobil yang aku dan Luca tumpangi.
"Kau baik-baik saja?" Aku membuka suara setelah hening lama.
Luca mengembuskan napas, ia menoleh ke arahku. Menatapku dengan tatapan menyesal.
"Maafkan aku, Sophie."
Aku terpaku namun segera mengedipkan mataku. "What for?" Lirihku.
Luca menggeleng pelan. "Makan malam ini menjadi kacau karena aku dan membuatmu berada dalam situasi berbahaya."
Dahiku mengerut, namun dengan cepat aku menggeleng. "Itu bukan kesalahanmu Luca ...."
"No, andai aku tidak mengajakmu makan malam ini pasti tak akan terjadi. Aku selalu dalam bahaya Sophie dan sekarang kau juga. Itu karena diriku." Luca menatapku penuh rasa bersalah.
Aku tertegun dengan ucapannya. Dia sadar bahwa dia selalu dalam bahaya. Tetapi, aku masih bingung, bahaya apa yang sedang dia bicarakan dan mengapa aku jadi terlibat?
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Ada orang yang berusaha menyelinap ke rumahku hingga membuat pengawalku tertembak."
Aku terdiam tidak bisa berkata-kata lagi selain menatapnya dengan wajah gamang. Apakah ini ulah dari Salvatore? Tetapi, mengapa dia gegabah sekali?
"Kita ke rumahku terlebih dahulu untuk mengecek situasi di sana."
Aku mengangguk samar. "Baiklah ...," ujarku menurut selain itu aku juga penasaran dengan apa yang baru saja terjadi.
***
Aku menelan saliva ketika telah sampai di kediaman Luca yang luar biasa mewah dengan desain modern. Aku berusaha menyembunyikan keterkejutanku yang pertama kali melihat rumah sebesar ini dan bersikap sebiasa mungkin sampai Luca mengajakku keluar dari mobil.
Saat kami baru keluar dari mobil, seseorang langsung menghampiri Luca untuk melaporkan situasi saat ini dan kronologi kejadian. Aku berjalan membuntut di belakangnya sambil menikmati pemandangan di rumah mewah dengan halaman yang sangat luas ini.
"Sophie?"
Aku langsung menoleh ketika Luca memanggilku, ia kini sedang menatapku. "Tunggulah di dalam, pengawalku akan mengantarmu."
Aku hanya mengangguk meskipun sebenarnya aku sangat ingin tahu tentang apa yang sudah terjadi. "Baiklah."
Pengawal Luca membawaku masuk ke rumah mewah yang diisi dengan berbagai macam perabotan mahal. Desainnya sangat simpel dan membuat nyaman siapa pun yang menempatinya. Oh tentu saja, siapa yang tidak akan nyaman berada di rumah mewah seperti ini?
"Silahkan duduk, Nona." Pengawal Luca berbicara kepadaku ketika sudah sampai di Ruang tamu.
"Kalau begitu, saya pergi dulu. Pelayan akan membawakan Anda minum, jika Anda membutuhkan sesuatu Anda bisa memanggilnya."
Aku hanya tersenyum tipis kepada pria berwajah kaku itu hingga ia meninggalkanku sendirian. Aku mengembuskan napas lega, mataku bergerak menatap ke sekeliling ruangan ini, suasana baru ini sangat memanjakan mataku yang terlalu sering melihat interior gedung usang dan pengap milik Salvatore.
Tak lama setelah itu seorang pelayan wanita datang membawakan minuman untukku, ia terlihat masih muda bahkan wajahnya terlalu cantik untuk ukuran seorang pelayan. "Silahkan diminum, Nona."
Aku menatapnya yang tersenyum tipis padaku. "Terima kasih."
"Apakah Nona membutuhkan hal lain?"
Dengan cepat aku menggeleng. "Tidak, terima kasih."
"Baiklah kalau begitu saya pergi dulu," katanya begitu sopan.
Satu jam lebih aku hanya duduk dan memperhatikan ruangan ini. Lama-lama aku jadi bosan, rumah ini memang mewah tetapi aku merasa ada sesuatu yang kurang. Namun apakah itu?
Ah benar, foto keluarga. Sejak tadi aku tidak melihat itu, bahkan di Ruang tamu ini padahal biasanya pemilik rumah pasti akan memajang foto keluarga mereka di Ruang tamu. Tetapi, aku tidak menemukan satupun bahkan foto milik Luca sendiri.
"Maaf membuatmu menunggu lama."
Aku sedikit terkejut kala mendengar suara Luca yang tiba-tiba muncul.
"Ah, tidak apa." Aku tersenyum tipis.
Aku melihat Luca seperti sedang berpikir ketika menatapku. "Menginaplah di sini."
Tatapanku sontak melebar. "A-apa?"
Apakah dia sudah gila?
KAMU SEDANG MEMBACA
DANGER: Hate and Revenge
ActionKetika mengetahui rekan dalam grup mafianya tewas, Stephanie Wu menjalankan misi penyamaran untuk menghancurkan bisnis, kemudian membunuh Luca Huang. Namun, siapa sangka, jika Luca Huang memiliki kartu miliknya sendiri yang memutarbalikkan kenyataan...
Wattpad Original
Ada 3 bab gratis lagi