[COMPLETED]
Halo, Tuan.
Akhirnya kita bertemu lagi. Dipertemuan yang sepertinya sudah direncanakan Tuhan untuk menyelesaikan masalahmu denganku yang sempat mengalami ending tak jelas.
Lalu, apakah setelah pertemuan itu kamu tetap menjadi si Tuan Gr...
Senyum lebar masih tercetak jelas di bibir Aditya setelah beberapa jam lalu kami mendapatkan kertas hasil tes IQ yang dilakukan sekolah untuk melihat kemampuan kami selama tiga tahun, sebelum berlanjut ke beragam ujian yang sudah menanti.
Seperti biasa, kami duduk di Starbucks sambil menyesap Green Tea Latte yang tidak pernah absen dari lidah kami. Dan Aditya yang terus memerhatikan alur bicaraku, kadang-kadang dia menanggapi dengan antusias.
Begitulah Aditya, semenjak dirinya menobatkan kami menjadi partner duduk manis, sikapnya juga ikutan manis.
"Dit, jawab doooong, pas sebelum tes IQ lo makan apa sih?"
Sekarang dia mendengus geli setelah pertanyaan bodoh meluncur dari bibirku.
"Ya makan nasi lah, Rau!"
Aku mengelak, mendorong pelan cup minumanku menjauh. "Nggak, lo pasti ngibul. Pasti lo diet dari mie instan yang bumbunya bikin bego, ya kan?!"
"Nggak, Rau! Sumpah, gue nggak makan yang aneh-aneh, apalagi sampe diet mecin. Asal lo tau, bumbu mie instan itu termasuk surga dunia."
Idih. Dia bilang mecin di mie instan termasuk surga dunia? Beneran generasi mecin, Aditya ini.
"Terus, kenapa lo bisa dapet hasil tinggi banget? 140 bro, lo nggak gila kan ya? Lo siapanya Albert Einstein, sih?!"
Aditya tergelak, tertawa sampai menyipitkan matanya.
Aku mengerutkan kening. "Kenapa lo ketawa sih?"
"Ya lagian, lo tuh daritadi nanya yang aneh-aneh aja! Demi deh, gue gak makan apa-apa, biasa ajaaa," ujarnya setelah berhasil mengatur napasnya yang tersendat karena tertawa.
"Sekarang gue tanya deh, apa gunanya punya IQ tinggi atau rendah sih, Rau?"
Aku mengedikkan bahu, malas dengan pembahasan yang akan mengarah pada pembelaan sekaligus penolakan kalau dia memang jenius.
"Dulu aja Albert pas masih kecil tergolong orang yang bego, di masanya sih. Tapi semangatnya buat belajar dan pembuktian kalau dia bisa, nggak pernah surut, sampai akhirnya IQ dia terus bertambah. Lo tau nggak, IQ itu bisa turun-naik tergantung otak dan pengalaman hidup lo."
Aku manggut-manggut saja sebagai jawaban, Adit ini sekalinya ngomong sepertinya nggak pernah salah.
"Terus, nanti setelah SMA selesai, lo mau lanjut kuliah dimana?"
Sekarang gantian Adit yang mengedikkan bahu. "Negeri kalik ya, biar berbobot."
Nah, macam Aditya ini pasti mikirnya 'masuk kampus negeri aja'.
"Terus, kampus swasta nggak berbobot maksud lo?"
"Nggak gitu--"
"Gininih, gue males sama orang jenius macam lo dan sejenis lo. Terlalu menganggap remeh instansi lain, terlalu ambisi dan seolah kampus swasta bikin kalian nggak berkembang sebagai orang jenius."
"Sumpah, nggak gitu maksud gue!"
Aku tersenyum, mengulum sedotan sambil memejamkan mata. Entah apa yang salah dari obrolan kami hari ini, sebagian diriku punya firasat tak enak setiap membicarakan hal ini. Padahal aku yang memulai, aku juga yang tidak siap dengan keadaan di depan sana.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Semenjak obrolan kami di Starbucks sebulan lalu, aku merasa Aditya menjauh perlahan. Entah ini hanya perasaanku saja, atau memang Aditya menjalankan aksinya perlahan agar bisa masuk universitas negeri seperti keinginannya.
Kami sudah tidak pernah melakukan rutinitas duduk manis di meja Starbucks Senayan City--tempat langganan kami. Dia tidak pernah lagi mengiyakan ajakanku setiap kali aku mengajaknya ke sana selama sebulan terakhir.
Ponselku berdenting, aku langsung membukanya begitu kulihat nama Aditya tertera di sana.
Aditya Pramasetyo: Sorry, Rau. Gue ada bimbel nih, next time deh ya, gue janji.
Aku menghela napas pelan. Penolakan lagi, padahal semestinya dia nggak perlu menjanjikan apapun. Langsung saja kumasukkan ponselku ke dalam tas, beranjak dari tempat duduk yang biasa aku dan Aditya tempati.
Untuk kesekian kalinya, aku menunggu Aditya dengan sia-sia, mengabaikan lidahku yang kangen akan rasa Green Tea Latte favorit kami. Entah bagaimana caranya, kebiasaan itu sudah terbentuk karena Aditya, jadi kalau aku minum Latte itu sendirian terasa ada yang kurang.
Begitulah, mungkin aku memang harus menunggu lagi, mengikuti alur permainan Aditya yang tidak kutahu seperti apa ending yang akan dia pilih. Kalau aku boleh egois, aku tidak ingin Aditya mengikuti mimpinya. Tapi aku tidak mungkin mengatakan hal itu padanya, kan?
Raudya memang egois. Karena rasanya kedekatan antara aku dan Aditya sudah membentuk suatu kebiasaan yang membuatku mulai membutuhkan Si Jenius itu.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.