Dia Bilang, Pergi?

2.3K 315 23
                                    

2013

Pernahkah merasakan sudut hati yang terasa kosong karena merindukan sesorang? Sekarang, aku merasakannya. Bagaimana sudut itu terasa hampa karena seseorang yang terlihat di depanmu tapi terasa jauh darimu.

Begitulah, sekarang ini aku merasakan Aditya menjauh dariku. Setelah ujian akhir, kami memang libur tanpa batas waktu yang jelas hingga pendaftaran kampus negeri dan swasta dibuka, tapi tetap saja dengan senjata tipuannya, dia menjauhiku. Mengaku kalau terlalu sibuk les untuk penerimaan kampus negeri akhir-akhir ini, sehingga dia enggan meluangkan waktu untuk bertemu denganku. Tidak ada lagi rutinitas duduk manis di Starbucks seperti beberapa waktu lalu.

Lalu, sisi hati lainnya terasa penuh oleh kerinduan akan dirinya yang selalu mengajarkanku banyak hal, selalu jadi guru private matematika sekaligus fisika dan kimia.

Tapi seolah membicarakan iblis, ponselku berdering, menampilkan nama Aditya Pramasetya yang sudah lama tidak muncul di layar ponselku.

"Halo?" sapaku ragu.

"Lagi dimana?"

"Rumah nih."

"Gue di depan rumah lo."

Sambil membulatkan mata dan jantung yang berdetak tak karuan, aku memutuskan sambungan sepihak dan segera keluar rumah untuk menemuinya. Bisa-bisanya dia datang seenaknya setelah aku memikirkannya! Seolah kerinduanku sampai ke telinganya.

Begitu aku membuka pintu, Aditya nyengir lebar ke arahku, menyodorkan cup Green Tea Latte yang terbungkus plastik. Aku menatapnya intens, ada banyak pertanyaan yang harus dia jawab sekarang juga, sebelum nanti dia pergi tanpa kabar lagi.

Sambil menerima sodoran plastik darinya, aku tersenyum kecut membalas cengirannya.

"Kemana aja, Dit? Baru dateng setelah berminggu-minggu ilang?"

Dia masih nyengir, aku harus memutar otak untuk mencari kata-kata yang layak dan tidak menuduhnya macam-macam, karena aku bukan siapa-siapa di hatinya.

"Kan gue udah bilang, Raudya ... akhir-akhir ini gue harus les supaya bisa masuk PTN."

Aku mengangguk, aku tahu betul ambisinya.

"Kalo gitu, gue balik dulu ya, masih ada urusan nanti jam 3."

"HAH? Melipir sebentar doang? Lo pikir, gue halte bis?"

Aditya tertawa, mengacak poniku.

"Nggak usah ngacak-ngacak!" tepisku, menatapnya tajam.

Dia mengerutkan dahi. "Lo kenapa sih, Rau?"

Aku menghela napas jengah. Inilah waktu yang tepat untuk mengatakannya.

"Ada yang mau gue tanyain sama lo."

Dia mengerutkan dahi. "Nanya apa? Kayaknya serius banget ya?"

Aku mengangguk mantap. Sambil terus menatapnya, aku mengatakan, "gue ... mulai bingung sama sikap lo, Dit. Seenaknya datang-pergi, bersikap baik banget sampe bikin gue baper kayak gini, sebenernya ...," ucapanku terputus, aku menatap pada jari-jari kakiku yang tidak tertutupi sandal.

"Sebenernya?"

"Sebenernya, lo nganggep gue apa selama ini?" sahutku mendongak, lalu aku menggeleng. "Bukan, maksud gue ... pernah nggak sih lo mikirin perasaan gue atas sikap lo yang terlalu manis selama ini? Kita udah kenal lama, Dit! Dan gue tau, lo memperlakukan gue beda dari temen-temen lo yang lain. Tolong koreksi, kalo kata-kata gue ada yang salah."

Takut-takut, aku menatap ke arahnya. Dia mengembuskan napas berat sambil memejamkan mata, dadaku terasa sakit melihat ekspresinya yang seolah berat mendapatkan pernyataan sekaligus pertanyaan dariku.

"Maaf, Rau ...."

Lagi, dadaku terasa semakin terhimpit. Jantungku bertalu terlalu kencang hingga rasanya berdenyut menyakitkan. Dia meminta maaf, itu artinya ada hal buruk yang akan dia sampaikan. Aku masih diam, menunggu kelanjutan ucapannya dengan menatap ke dalam matanya.

"Maaf, kalo lo ngerasa kayak gitu, maaf kalo tanpa sadar gue bikin lo baper. Karena jujur aja, siapapun punya ketertarikan sama lo, tapi maaf, ternyata gue belum bisa menafsirkan makna perasaan gue. Bingung, Rau. Gue bingung apa yang gue rasain terhadap lo."

Aku menggeleng lemah. Seperti ini rasanya mendengar penolakan secara halus dari mulut yang merasakan kegamangan. Dan aku merasakan ibu jari Adit mengusap pipiku, ada sesuatu yang basah di sana. Tanpa sadar aku menangis.

Aku menepis tangannya, semakin menggeleng karena takut akan perlakuannya. Tapi dengan sigap tangan adit mencengkram pergelangan tanganku, menarik paksa tubuhku agar dia bisa mendekapnya. Dia melakukan itu, menumpu dagunya di puncak kepalaku, membuatku semakin terisak dalam pelukannya.

"Jangan kayak gini, Dit!"

Adit menggeleng lemah. "Maafin gue, Rau. Gue belum bisa menafsirkan perasaan gue, tapi yang gue tau ... gue terlalu nyaman sama lo, dan gue nggak tau apa nama yang tepat untuk itu."

Satu isakan lolos dari bibirku. Dekapannya semakin erat.

"Kalo lo mau tetap tinggal, jangan kayak gini. Tapi kalo ternyata pengakuan gue bikin lo risih, lo boleh pergi, Dit."

Tak ada sahutan, Adit merenggangkan pelukannya, mencari celah dari mata kami yang saling menatap. Wajahnya mendekat padaku, dia menyentuh wajahku agar mendongak padanya. Aku memejamkan mataku, seketika aku merasakan bibirnya yang mengecup dahiku.

Aku menengang, tidak paham maksud dari perlakuannya.

"Maafin gue Rau, maafin, gue harus pergi, jangan berharap apapun dari gue, lupain kalo gue pernah bikin lo baper kayak gini," bisiknya dengan mendekap tubuhku lagi.

Setelah dia mengatakan itu, dia langsung pergi menjauh dariku. Sebelumnya, aku dapat melihat tatap matanya yang menyakitkan ketika menatapku.

Sungguh, kali ini aku semakin tidak paham dengan sikapnya. Punggungnya semakin menjauhiku, pergi dengan motornya tanpa melihat lagi ke arahku. Tangisku semakin parah, aku terisak tanpa suara, menutup bibirku yang membisu atas kepergiannya.

Dia bilang, pergi dan melupakan? Aku sungguh tak bisa melakukan apapun atas keputusannya yang tidak bisa kupahami.



Dia bilang, pergi dan melupakan? Aku sungguh tak bisa melakukan apapun atas keputusannya yang tidak bisa kupahami

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

07072017
Repost, 081117

Tuan Green Tea LatteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang