Satu tahun kemudian
Sehabis mengelilingi Mall Senayan City sendirian, kakiku memaksa untuk berhenti di Starbucks. Rasanya sudah seminggu aku tidak minum Latte karena sibuk bekerja di salah satu perusahaan niaga daerah Sudirman.
Aku duduk di salah satu meja yang sering kujajah. Selalu di sini, karena tempat ini memang paling strategis, ada kaca besar di sampingku untuk melihat aktifitas luar.
Menaruh semua belanjaanku di atas meja, aku mengecek kembali isinya, tersenyum bangga bisa mendapatkan barang-barang yang kupuja dari hasil jerih payahku. Setelahnya, aku diam cukup lama untuk meluruskan kaki yang terasa pegal karena heels yang kugunakan.
"Buat lo, Rau."
Aku membesarkan mataku, tubuhku seketika kaku mendengar sura yang terkesan deja vu itu--aku merasa pernah merasakan ada di posisi ini. Aku pun menoleh, mataku semakin membesar dengan bibir yang sedikit terbuka, jantungku semakin parah berdetak karena ternyata orang yang mengatakan itu adalah Aditya.
Dia berdiri di depan mejaku sambil menyodorkan cup berisikan Green Tea Latte di tangan kanannya, dan cup yang sama di tangan kirinya. Dia tersenyum puas mendapati reaksiku. Tanpa disuruh, Adit sudah menaruh cup itu di meja dan menggeser bangku di hadapanku.
Dia menatapku intens sambil tersenyum lebar, bibir merahnya terlihat semakin jelas karena dinginnya Latte itu.
"Hai, Raudya! Kita dipertemukan lagi."
Aku menelan salivaku, tenggorokanku terasa kering. Dia benar, kita memang dipertemukan lagi, dalam situasi yang sama, dan dalam tempat yang sama ketika SMA.
Padahal, mati-matian aku menghindarinya selama setahun ini. Dari media sosial manapun, dan dari teror menyebalkan darinya karena entah bagaimana caranya dia bisa mendapatkan kontakku, isinya hanya untuk meminta maaf dariku.
Setelah pertemuanku dengan Adit setahun lalu di kios Starbucks kampusku, dia sempat bertanya padaku mengenai hal paling krusial selama bertahun-tahun, tentang maukah aku memaafkannya. Tapi saat itu aku pergi begitu saja tanpa menjawab pertanyaannya, tanpa memedulikan tatapan heran dan keterkejutan darinya. Aku meninggalkan dia begitu saja yang pastinya bertanya-tanya atas sikapku.
Aku tak peduli! Dulu, dia melakukan hal serupa--meninggalkanku tanpa menjelaskan apa dan mengapa. Bagaimana bisa, aku langsung memaafkannya begitu saja?!
Atas perilaku bodohnya, aku ingin kala itu dia merasakan dulu bagaimana jadi orang bodoh yang menunggu. Walaupun aku tidak akan mungkin sejahat dia.
Dan mungkin inilah saatnya aku memberitahu apa jawabanku, apakah aku akan memaafkannya atau tidak. Tapi sekarang, apa bisa aku menghindar lagi dengan dia yang sudah berada di depanku?
"Buat kali ini, kita sama-sama nggak akan bisa menghindar," celetuknya, seolah pertanyaanku tadi bisa dia dengar.
Aku enggan menatapnya, tapi lagi-lagi dia menanyakan hal yang sudah sepantasnya kujawab.
"Lo mau kan, maafin gue? Setelah lo ninggalin gue gitu aja tanpa menjawab apakah lo mau maafin gue atau nggak.
Aku menggigit bibir dalamku. Menengok hati-hati ke arahnya dan memerhatikannya. Sekarang, Adit tampak berbeda. Gaya rambutnya lebih maskulin dari terakhir aku ketemu dia. Lalu sekarang, dia mengenakan kemeja slim fit berwarna hitam, membuatnya terlihat sangat-sangat dewasa di mataku.
Bagaimana ini ... aku tidak akan bisa menolaknya, setelah menghilang darinya dan saling menghindar selama setahun, aku tidak akan bisa lagi menghindarinya kalau penampilannya sekarang bikin aku kepayahan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Green Tea Latte
Short Story[COMPLETED] Halo, Tuan. Akhirnya kita bertemu lagi. Dipertemuan yang sepertinya sudah direncanakan Tuhan untuk menyelesaikan masalahmu denganku yang sempat mengalami ending tak jelas. Lalu, apakah setelah pertemuan itu kamu tetap menjadi si Tuan Gr...