Flashback itu memudar. Bagaimana bisa hanya dengan sapaan singkat--menanyakan kabar, bisa berdampak pada pemutaran ulang reka adegan pertemuanku dengannya?
Aku memerhatikannya yang tersenyum tipis padaku. Bibir itu masih merah seperti pertama kali aku mengenalnya.
"Baik. Lo apa kabar, Dit?"
Dia mengedikan bahu. "Belum pernah sebaik malam ini."
Hah? Apasih maksud dari ucapannya?
Aku mendengus. "Lo kenapa pergi dari antrian? Tukeran sini sama gue!"
"Eh, jangan! Sini aja." Dia mencegahku, menarik pelan tanganku agar kembali ke tempat semula dan sejajar dengannya.
"Kenapa sih, lo makin kurus?"
"Kenapa sih, lo makin cantik?"
Kami berkata dengan waktu bersamaan. Mendengar pujiannya, pipiku terasa memanas.
"Palbis."
Dia terkekeh. "Gue tadi pangling, tapi begitu gue liat ada tahi lalat di pelipis mata lo, gue semakin yakin itu Raudya."
Dit, tolong ... jangan mengucapkan sesuatu yang bikin hati ini jadi runtuh lagi. Seolah dia adalah orang yang paling mengerti aku, paling kenal denganku. Padahal, kalau dia mengerti aku ... dia tidak akan meninggalkanku begitu saja, kan?!
Aku tak menampilkan ekspresi apapun selain memutar bola mata jengah.
"Empat tahun lo menghilang tanpa bekas, Dit."
Aku menunggu reaksinya, dia seolah tuli dan buta. Tidak menanggapi ucapanku sama sekali.
Aku mengulangi ucapanku dengan mencicit. "Empat tahun lo menghilang tanpa bekas, Dit. Dan sekarang, tiba-tiba lo muncul di hadapan gue di waktu yang gak tepat. Apa lo bahagia, udah ninggalin gue selama empat tahun?"
Setelah mengatakan itu sepelan mungkin, aku menggenggam erat clutch dan dengan hati-hati melirik wajahnya, aku ingin menatap mata itu.
Tapi setelah mata kami bertemu, aku dibuat bungkam oleh pandangannya terhadapku. Dia menatapku dengan mata berkaca, tatapan itu ... ada kepedihan tak terarah sebagai jawaban atas pertanyaanku tadi. Dia terus menatapku, seolah menyalurkan jawaban kalau dia tidak bahagia selama empat tahun menghilang dari hidupku.
Dan setelah mata kami saling pandang, pertanyaan lain justru semakin bermunculan. Apakah dia ingat bagaimana awal kedekatan kami? Apakah dia ingat kalau aku adalah partner duduk manisnya selama beberapa bulan di Starbucks? Apakah dia ingat, gantungan kunci yang pernah dia berikan padaku? Apakah dia ingat, dia pernah menyuruhku untuk melupakannya?nApakah dia ingat semua alasan dia menyakitiku? Dan, apakah alasannya itu dia lakukan secara sadar?
Aku tak menemukan jawaban dari matanya untuk itu. Langsung saja aku memutus kontak mata kami.
"Kenapa sih, Dit ... lo baru dateng sekarang? Setelah empat tahun, harus ya kita ketemu di tempat kayak gini dulu, baru lo berani nampakin batang hidung lo?"
Setelah mengatakan itu, aku berbalik meninggalkannya dengan menggenggam erat clutch untuk menyamarkan kekecewaanku, mengurungkan niat untuk mengantri prasmanan. Napsu makanku sudah hilang entah kemana. Sama hilangnya dengan jawaban yang tidak aku temukan atas kepergian dan kedatangannya yang tiba-tiba.
Aditya Pramasetyo, si cowok bibir merah bermulut manis yang sudah berhasil mengacak-acak hidupku selama empat tahun belakangan. Aku seolah tidak lagi mengenalinya, dan dia masih jadi seorang pengecut ulung untuk tak mengucapkan apapun sekalipun kita dipertemukan dalam keadaan seperti ini.
8 Nov 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Green Tea Latte
Short Story[COMPLETED] Halo, Tuan. Akhirnya kita bertemu lagi. Dipertemuan yang sepertinya sudah direncanakan Tuhan untuk menyelesaikan masalahmu denganku yang sempat mengalami ending tak jelas. Lalu, apakah setelah pertemuan itu kamu tetap menjadi si Tuan Gr...