11. Pernikahan Impian

15.1K 1.1K 13
                                    

Enjoy reading

_____

Hanaya tidak bisa menahan ekspresi terkejutnya saat Nabila menyerahkan undangan pernikahannya untuk Hanaya.

"Lima hari sebelum yudisium? Kenapa nggak nunggu aja sampai yudisium selesai dan di undangannya bisa disertakan titel S.Pd.?" kata Hanaya tidak bisa menahan rasa terkejut saat Nabila memberitahu rencana pernikahannya. Nabila tertawa sebelum menjawab.

"Allah nggak butuh itu semua, Hana. Titel hanya mengundang pujian dari manusia. Aku hanya mau meniatkan pernikahan ini untuk mendapat rida Allah SWT. Kalau Mas Khalid sudah siap, aku siap, dan keluarga kami siap, tunggu apa lagi? Kalau urusan ibadah, kan, jangan ditunda-tunda."

"Iya juga, sih. Tapi Bil, umur lo masih dua puluh dua. Apa lo udah siap jadi istri, dan setahun kemudian jadi ibu dari seorang anak?"

"Insyaallah siap. Ya kali siap nikah tapi nggak siap berumah tangga, kan lucu, Hanaya. Lagian umur bukanlah ukuran kedewasaan. Aku hanya takut memikirkan orang yang belum halal untuk dipikirkan, merindukan orang yang belum boleh dirindukan."

Mendengar itu Hanaya sontak terdiam, berpikir. Betapa tiap hari ia memikirkan si ini dan si itu, memikirkan setiap senti hidungnya, kelebihannya, hingga membayangkan kehidupan masa depan kelak jika bersamanya. Dan mereka semua sudah jelas masih jauh dari kata halal.

"Emang kita nggak boleh mikirin orang yang kita kagumi? Seseorang yang membuat hati kita bergetar ...."

"Aku akui, sih. Sulit mengontrol pikiran kalau sudah berurusan dengan hati. Kita pasti maunya mikirin dia terus, nggak bisa tenang kalau nggak tau kabarnya, dan sudah pasti kita akan mencari segala cara agar bisa komunikasi dengan dia. Pokoknya segala macam yang membuat hati kita makin bergetar dan rindu padanya. Padahal sebetulnya nggak boleh, Hanaya. Jangan asal mikirin, jangan asal rindu! Hati-hati merindukan seseorang yang belum halal!"

"Jadi gimana, dong? Sulit banget nggak mikirin dia, Bil. Sesulit nggak bernapas, deh," ujar Hanaya melemas, "Lagian, ngejar jodoh itu kan harus pake usaha dengan jalan komunikasi biar kita tahu perasaan masing-masing. Kalau cuma diam-diaman terus, nanti diam-diam diambil orang, kehilangan deh, kita. Yang sakit siapa? Kita juga, kan?"

"Usaha mendapatkan jodoh cuma satu, Han. Back to yourself, perbaiki diri kita. Kamu percaya nggak sama rencana Allah? Kamu percaya kalau Allah akan memberi kamu jodoh yang terbaik, yang sesuai dengan kamu, bahkan yang lebih baik dari yang kamu mau?"

"Percaya, kok."

"Tapi kamu belum yakin, Hanaya. Kalau kita yakin sama Allah, kita nggak akan mungkin ngejar jodoh dengan jalan maksiat, salah satunya pacaran. Cukup berdoa sama Allah mau berjodoh dengan si dia, dan usahanya perbaiki diri kita, itu aja. Ketika ruang komunikasi terjadi dan tanpa kesengajaan, itu kode dari Allah. Allah yang akan memberi rasa cinta itu. Dan kalau Allah yang sudah memberi, mau dihapus bagaimanapun, nggak akan bisa, karena itu yang terbaik buat kita," terang Nabila panjang lebar.

Hanaya menggangguk-angguk sambil merenung. Ia mengagumi Zayn dengan semua sifatnya, tapi untuk rasa cinta, ia masih belum yakin.

"Banyak orang yang tidak suka hidup ngejomlo mulia tanpa pacaran, padahal itu amat baik baginya, bisa melindunginya dari fitnah. Dan sebaliknya, banyak orang yang menganggap pacaran itu baik, banyak manfaatnya sehingga banyak orang yang menyukainya. Padahal di mata Allah, itu amat buruk baginya. Makanya, setiap yang pacaran pasti ujung-ujungnya apa?"

"Putus," tebak Hanaya asal dan Nabila mengangguk mantap.

"Karena Allah tahu itu buruk baginya. Tapi kebanyakan orang nggak bisa ngerti maksud Allah. Gagal paham dengan kebaikan yang selalu dia minta sendiri sama Allah."

Mengejar Hafiz Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang