10. Pesona Ahzan

13.6K 965 13
                                    

Happy Reading

_____

Ahzan sudah menceritakan semuanya. Dia menjambret waktu itu hanya pura-pura agar dia punya alasan untuk keluar dari mobil Hanaya saat itu juga. Caranya itu memang ekstrem. Dia terpaksa bilang mau nebeng di mobil Hanaya waktu itu biar orang-orang tidak curiga bahwa jambret sebenarnya adalah dirinya. Selebihnya, urusan pribadi. Dia tidak mau memberitahu sekeras apa pun Hanaya mendesak. Uang Hanaya itu juga tidak diapa-apakan sampai dikembalikan hari ini. Dan yang paling melegakan, Ahzan tidak ada sangkut pautnya dengan musibah Tania.

Sebenarnya, tentang uangnya yang kembali itu, Hanaya sudah merelakannya jauh-jauh hari. Mungkin lebih baik kalau Hanaya memberikan pada Tania untuk mengganti uangnya yang dijambret.

"Btw, kamu bosnya di sini?" Meski ragu, Hanaya tetap bertanya. Dan Ahzan tertawa mendengar pertanyaan itu.

"Di sini, kalo lo dengerin cara kami manggil satu sama lain, semuanya juga bos. Bos itu panggilan akrab," jawab Ahzan.

"Terus, bosnya tempat ini mana? Aku pengin ketemu, dong!"

"Buat?" Ahzan bertanya datar.

"Dulu, aku pernah ke sini dan lucunya aku juga mecahin gelas sama seperti tadi. Tapi untungnya, bos tempat ini nggak nyuruh ganti rugi dengan alasannya karena aku cantik. Haha, manis banget, kan?" tutur Hanaya. Ahzan memutar bola matanya.

"Dia nggak ada. Dan buat kekacauan yang lo buat hari ini gue yang tanggung jawab," ujar Ahzan.

"Yah, nggak bisa ketemu bos manis itu, deh. Btw, dia ganteng, nggak?" tanya Hanaya antusias.

"Banget!"

"Beneran?!"

"Mau gue salamin ke dia?" tawar Ahzan dengan senyuman lucunya. Hanaya sontak mengangguk. Ahzan, yang Hanaya pikir seorang jambret tulen misterius itu, tertawa manis di hadapannya sekarang. Dan tiba-tiba saja ia berharap bahwa Ahzan adalah si bos itu.

"Ya udah, deh. Aku mau pulang."

"Gue anterin, mau?" tawarnya. Hanaya mengangguk.

"Dasar orang kaya. Punya mobil tapi ditelantarin gitu aja!" komentar Ahzan

"Kamu bilang apa?"

"Persis yang lo denger," katanya.

"Aku tanggung jawab kok sama barang-barangku. Tadi aku udah hubungin tukang derek buat mengamankan. Jadi tuduhan kamu salah."

"Hmm, baguslah. Jadi, nih, gue antar ke mobil lo?"

"Emang udah nggak kerja?"

"Bos, minjem motor, ya?!" teriaknya pada salah satu pelayan di balik meja kasir. Si kasir pun mengangguk dan melemparkan kunci motor.

"Aku nggak mau dibonceng!" gerutu Hanaya.

"Ya udah, lo yang bonceng gue!" balasnya sambil menyodorkan kunci itu pada Hanaya. Hanaya hanya diam sambil menatap kesal.

"Ya udah kalau nggak mau. Terus lo pulang gimana?"

"Naik taksi, aja. Kamu nggak usah nganterin kalau nggak niat. Aku sendiri yang ngikut kamu sampai sini, jadi kamu nggak perlu merasa bertanggung jawab!" ujar Hanaya bersungguh-sungguh.

"Ya udah."

Dengan menghentak-hentakkan kaki di lantai marmer itu, Hanaya berjalan cepat keluar dari Bengcoffe Paradise, mencoba mengesampingkan perasaannya yang tiba-tiba kesal nggak jelas pada si makhluk ajaib menyebalkan itu. Di depan, Hanaya mencegat taksi. Jantungnya yang masih berdebar hebat membuat wajahnya terasa panas. Ia harus berkali-kali menarik napas panjang sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan. Padahal taksi itu ber-AC.

Mengejar Hafiz Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang