9. Ayah

1.2K 36 2
                                    

Kediaman Keluarga Besar Ishida, 09.00 AM

"Silakan.", ucap seorang pelayan wanita sambil menyuguhkan ku secangkir teh. "Terima kasih..", jawab ku sambil memandang cairan coklat di dalam nya. Bukannya menyicip teh yang sudah di sediakan, aku hanya melamun memandang keluar jendela.

Ku akui, melamun adalah hal yang paling menyenangkan di dunia ini. Aku merasa tenang dan semua beban hidup lepas begitu saja dari pundak ku. Tapi, ketika kau kembali sadar dari lamunan, beban hidup itu akan kembali lagi.

"Akira ?", panggil seorang pria yang tak asing di mata ku. Aku hanya memandang nya dari sudut mata ku. "Ada apa ?", tanya nya merasa asing dengan keberadaan anak mua sendiri di rumah besar itu.

Aku hanya menjawab dengan helaan nafas. Aku bahkan tak tau harus mulai dari mana untuk menjelaskan masalah ku ini. "Ku kira kau ada di luar negeri ?", tanya ayah lagi karena tak menerima jawaban apa pun dari mulut ku

"Ya, seharusnya begitu. Tapi..", jawab ku dengan nada lesu sampai-sampai aku tak menyelesaikan omongan ku. Ayah hanya tersenyum melihat ku dan mengambil tempat duduk. "Masalah keluarga, bukan ?", tanya ayah sekali lagi.

Aku hanya terdiam lalu mengambil nafas dan mulai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

.

"Jadi begitu..", ucap ku menutup cerita. "Hahaha, cucu ku yang satu itu jahil sekali !", jawab ayah menanggapi masalah ku dengan entengnya. "Ya, kan ?! Jahil sekali anak itu !", ucap ku yang malah ikut-ikutan.

Kami berdua pun terdiam. "Sepertinya bukan itu yang harus kita bicarakan disini..", ucapku sambil menggaruk-garuk pelipis ku. Ayah hanya tertawa kecil, lalu menyeruput teh nya yang masih hangat.

"Apa yang harus ku lakukan, otou-san ?", tanyaku sambil menundukkan kepala. "Bukan kah sudah jelas ?", tanya ayah ku balik. Aku pun menaikkan kepala ku tak mengerti. "Perbaiki suasana di keluarga mu.", jawab ayah sambil menatap ku.

"Tapi.. bagaimana ?", tanyaku lagi semakin depresi. "Jika kau seorang ayah, seharusnya kau bisa menjawab pertanyaan itu sendiri.", jawab ayah. Aku hanya menatap nya bingung.

"Sana, pulang.", ucap ayah yang membuatku sedikit terkejut. "Mengusir anak sendiri ?", tanyaku dengan ketus. "Jangan berpikir terlalu banyak.", ucap ayah sambil menepuk pundak ku lalu membalikkan badannya.

Sebuah ide pun melintas di pikiran ku. Aku pun tersenyum kecil, lalu membalikkan badan ku ke lain arah. "Arigatou, otou-san.", gumam ku masih tersenyum.

------

Kediaman Ishida, 11.30 AM

"Tadaima* !!", teriak Akira sesampainya di rumah dengam kantong belanja yang cukup banyak. Tentu melihat pintu rumah mereka terbuka begitu saja, dua kembar Ishida yang sedang duduk-duduk di ruang tengah pun langsung menoleh ke arah sumber suara.

(* Aku pulang !!)

"Satoru ! Emil ! Otou-san membawa souvenir nih !", ucap Akira bersemangat. Kedua saudara kembar itu pun menatap ayahnya dengan perasaan campur aduk.

"Untuk mu !", ucap Satoru sambil menyodorkan kantong kertas berisi lensa kamera yang beragam. Satoru hanya terdiam dan menerima barang yang merupakan hobinya itu.

"Dan untuk Emil !", ucap Akira sambil menyodorkan kantong kertas yang cukup berat. "Alat-alat bahan kimia untuk ilmuwan kecil otou-san !", ucap Akira sambil tersenyum lebar. "O-otou-san..", gumam Emil sambil menatap kantong tersebut.

"Kenapa ?"

"Walaupun kami masih kecil, bukan berarti dengan memberi barang kesukaan kami, kami akan tersenyum.", ucap Satoru sambil menatap ayahnya tajam. "Onii-chan..", ucap Emil seperti menyuruhnya untuk tidak berkata seperti itu.

Akira tertegun mendengar perkataan anaknya yang paling pintar bicara, lalu ia menghela nafas panjang. "Aku merasa seperti 'menyuap' kalian agar tersenyum dan memaafkan ku..", ucap Akira sambil memaksakan sebuah senyuman.

Tanpa basa-basi, Emil langsung saja memeluk ayahnya erat. "E-Emil.. ?", gumam Akira terkejut. "Lebih baik ayah menangis daripada memaksakan sebuah senyuman.. berlaku seperti itu hanya membuat Emil merasa ayah memiliki beban yang berat sampai-sampai menangis saja tak kuat..", ucap Emil dengan suara bergetarnya. Ia menahan tangisannya agar tak pecah.

Akira tertegun untuk kedua kalinya. Apa benar Emil masih berumur 6 tahun ? Perkataannya tadi membuat Akira ragu dengan umur anaknya sendiri. "Gomen ne, Otou-san..", ucap Emil sambil menarik kembali cairan yang hampir keluar dari hidungnya.

"Otou-san lah yang harus minta maaf...", jawab Akira sambil mengusap-usap punggung anak perempuannya. "Kenapa kalian menangis ?", tanya Satoru sambil mengusap kedua matanya.

"Lihat siapa yang bicara.", ucap Akira sambil menepuk kepala anak laki-lakinya itu. "A-Aku tidak menangis ! Mataku kelilipan debu !", bantah Satoru dengan rona merah di pipinya.

"Pelayan kita selalu membersihkan rumah, loh.", jawab Akira sedikit geli melihat perlakuan Satoru. "Lagi pula, ini musim dingin !", sahut Emil yang tangisannya sudah reda.

"Ah, sudahlah !", bantah Satoru yang membuat Akira dan Emil tertawa. "Ayo kita jenguk okaa-san !", ajak Akira. Satoru dan Emil pun mengangguk kuat.

------------------------------------------------------

Ini chapter 9 :v

jangan lupa vote dan komen :v

After-Marriage LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang