Kubah Salib. pt 04

932 151 46
                                    

“Naya aku mau ke gereja sebentar. Tunggu aku di sini, oke?”

Aku mengangguk menanggapi. Marvell melepas sabuk pengamannya lalu keluar dari mobil. Setiap tahun baru Marvell selalu mengajakku untuk menemaninya berdoa. Sebenarnya aku ingin masuk ke dalam sana tapi Marvell selalu melarangku.

“Tidak Naya, kamu tunggu di luar saja aku tidak akan lama. Aku tidak ingin orang orang didalam sana memandangmu dengan hijabmu itu. Kalau kamu mau masuk ke gereja, bukan disini tempatnya.”

Aku tau Marvell bermaksud baik tapi aku juga ingin sekali kali masuk ke dalam sana dan melihat seperti apa Marvell menjalankan ibadahnya. Lima belas menit aku menunggu lalu pintu mobil terbuka dan Marvell duduk disebelahku.

“Aku tidak lama kan?”

“Menunggu mu tidak akan membuatku merasa lama Marvell.”

“Kamu ini.” Marvell tersenyum simpul. “Dari mana kamu belajar kata kata itu?"

“Dari seorang dokter yang kini duduk disebelahku.”

Kami melanjutkan perjalanan ke Bandung untuk pulang. Sekarang pukul sepuluh malam, jalanan sedikit licin akibat hujan setengah jam yang lalu. Marvell mengemudikan mobil dengan hati hati. Dalam hati aku terus berdoa supaya Allah melindungi kami hingga selamat sampai tujuan.

Namun, saat mobil kami melewati tol ban bagian belakang pecah. Kami terombang ambing di daam mobil meski sabuk pengaman sudah terpasang. Marvell berusaha mengendalikan dengan satu tangan memegang kemudi dan tangan lain melindungi tubuhku.

“Marvell pegang kemudi yang benar. Aku tidak apa apa. Kita harus selamat.”

“Tidak Naya. Aku tidak ingin terjadi apa apa dengan mu. Aku mohon, percaya padaku Nay-“

“Tapi Marvell, Aaaaaaaa.”

Setelah itu pandanganku menghitam. Yang ku ingat terakhir kali adalah mobil kami menabrak pembatas dan masuk ke jurang. Senyum Marvell mengembang saat aku membuka mata. Kami masih tersadar dengan darah mengalir dari kepala. Marvell menggenggam tangan ku erat. Dia berusaha menguatkanku meski keningnya penuh dengan cairan merah.

“Aku mencintaimu Naya. menikahlah dengan ku saat kita bertemu dalam satu keyakinan yang sama,” ucapnya lalu iris mata biru gelap itu tertutup rapat. Mulutku terkatup, sangat sulit untuk bicara sekarang. Kepalaku sangat sakit hingga aku tak sadarkan diri terkulai tak berdaya menunggu pertolongan Tuhan untuk kami berdua.

Saat aku membuka mata hanya kegelapan yang ada. Aku sendiri dalam ruangan gelap duduk diatas kursi kayu yang sangat keras. Perlahan buliran air mata menetes dipipiku. Aku sangat takut.

“Ibu, ayah, kak Akmal. Naya takut, disini sangat gelap.”

Sedetik kemudian seberkas cahaya menyilaukan membuat kaki ku tergerak kesana. Semakin aku berjalan cahaya itu semakin terang. Dan kini bayangan seseorang berjalan kearahku. Aku tidak tahu siapa dia karena dia berjalan membelakangi cahaya hingga aku tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya.

Aku hanya berdiri diam sembari tangan menusap sisa air mata yang terus keluar. Seseorang itu datang padaku dengan cahaya yang mengikutinya hingga akhirnya kami bertatap muka.

“Marvell.”

Marvell hanya tersenyum padaku. Senyum tulus yang membuat air mata ku turun untuk yang  kesekian kali. Ya Tuhan apa yang terjadi sebenarnya? Apa aku sudah meninggal? Lalu, apa Marvell sudah meninggal juga? Jika itu memang takdir kami maka berilah aku keikhlasan untuk menerimanya. Biarlah kami tidak bisa bersatu dalam dunia namun aku mohon Ya Allah ijinkan aku bertemu dengannya dan bersamanya meski hanya sekedipan mata di alam setelah kematian ini.

“Naya, kenapa kamu disini?”

Pertanyaan Marvell membuatku bertanya apa maksudnya.

“Bukannya kita sudah meninggal, Vell? Jadi aku ada disini denganmu.”

“Tidak Naya. Kini belum saatnya kamu ada di sini. Kembalilah pulang. Apa kamu tidak khawatir dengan ibu dan ayah?”

“Lalu apa yang akan terjadi denganmu Marvell? Apa yang akan kamu lakukan kalau aku pergi? Aku tidak ingin pergi dari sini sendiri, aku akan pergi bersamamu.”

Marvell memegang kedua bahuku. Dia sedikit menunduk mensejajarkan tinggin dengan ku yang hanya sebahunya.

“Lihat mataku Naya.”

Sekali lagi aku melihat iris mata biru gelap itu.

“Kembalilah. Aku tidak ingin kamu menemaniku disini. Kamu harus bahagia Naya. Apa kamu lupa dengan ucapanku senja tadi?”

Aku semakin terisak. Aku masih ingat apa yang diucapkannya. Bahkan kata katanya lima tahun terakhir ini yang aku bisa mengingatnya dengan jelas.

“Aku akan memintamu menikah denganku saat kita dalam satu keyakinan yang sama bukan? Dan aku memintamu menjaga hati mu untukku karena kamu sudah menempati ruang kosong di hatiku. Sekarang aku mohon kembalilah dan tepati juga apa yang kamu ucapkan padaku tadi kalau kamu akan menunggu waktu itu. Aku berjanji akan kembali.”

“Benarkah? Apa kamu bersungguh sungguh akan kembali?”

Marvell mengangguk dengan senyum tulusnya dia melepas tangannya dari pundakku lalu membawaku kedalam pelukannya. Pelukan hangat yang baru pertama ini aku rasakan. Mataku terpejam mencoba tidak terisak dalam pelukan Marvell.

“Aku mencintaimu Naya. aku mencintaimu dalam satu keyakinan yang sama.”

Kubah SalibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang