Kubah Salib. pt 05

906 144 30
                                    

“Aku mencintaimu Naya. aku mencintaimu dalam satu keyakinan yang sama.”

Setelah mendengar kalimat itu aku merasa tubuhku tertarik oleh sesuatu yang sangat hebat. Rasanya sakit disetiap tubuhku. Mataku terasa berat untuk terbuka. Samar samar aku mendengar suara ibu yang terisak sembari memanggil namaku. Perlahan aku menggerakkan jari dan membuka kelopak mata hingga wajah ibu yang pertama kali terlihat oleh netraku.

“Naya. kamu sudah sadar nak. Alhamdulillah Ya Allah terima kasih telah mengabulka doa ku.”

“Ibu?” panggilku.

“Iya sayang.”

Lalu aku menatap ayah yang berdiri disamping ibu juga kak Akmal di sebelah kananku.

“Syukurlah Naya kamu sudah sadar. Kakak sangat khawatir padamu.”

Aku tersenyum mendengar ucapan syukur keluargaku saat aku membuka mata. Lalu aku teringat satu hal. Marvell.

“Marvell di mana?”

Semua yang ada diruang rawatku bungkam saat aku bertanya. Lalu kak Akmal memencet tombol dan dokter datang bersama seorang perawat.

“Bagaimana Naya, apa kamu merasa sakit kepala yang hebat?” tanya Dr. Haris yang ku tau adalah teman ayah.

“Tidak dok.”

“Syukurlah itu tandanya mata itu sangat cocok denganmu.”

“Maksud dokter dengan mata itu apa?”

“Begini. Kamu mengalami benturan yang hebat pada kepalamu hingga syaraf penglihatan mu rusak dan hanya dengan cangok mata saja yang mampu membuatmu bisa melihat dengan normal lagi Naya.”

Cangkok mata? Bukankah syarat utamanya adalah kematian bagi pendonornya? Mata siapa ini Ya Allah. Aku sangat cemas, semoga apa yang aku pikirkan tidak lah benar. Ya Allah hilangkan prasangka ini.

“Lalu ini dari siapa dok? Siapa yang mendonorkan matanya untuk saya?”

“Maaf Naya saya tidak bisa membaritahumu,  sudah menjadi kebijakan rumah sakit untuk tidak memberitahu tentang hal seperti itu. Ya sudah, saya permisi dulu. Kalau ada apa apa tekan saja tombol ini.”

“Iya dok, terima kasih.”

“Saya permisi. Mari .”

Dr. Haris keluar bersama perawat tadi.

“Ibu.”

“Iya Naya. kamu mau apa sayang?”

“Ibu bawa cermin?”

“Untuk apa?”

“Naya ingin melihat mata baru Naya, Bu.”

“Tidak perlu nak. Kamu sangat cantik dengan mata itu. Percayalah.”

Aku menghela napas panjang. Kenapa aku merasa setiap orang menutupi kebenaran tentang siapa yang mendonorkan matanya untukku? Bagaimana dengan Marvell? Apa dia baik-baik saja? Aku ingin bertemu dengannya.

Lalu pintu ruang rawatku terbuka. Afran yang datang. Dia lalu menyalami orang tua ku dan kak Akmal. Kak Akmal mengajak ibu dan ayah untuk pulang membersihkan badan juga mengambil baju untukku. Kini hanya aku dan Afran dalam ruang ini.

“Hai Naya. Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam Afran. Terima kasih sudah datang menjengukku.”

“Sama-sama. Bagaimana keadaanmu? Aku sangat khawatir pada dokter yang dulu merawatku dan selama empat hari sempat tak sadarkan diri.”

“Empat hari?”

Afran mengangguk.

“Jadi, aku koma selama empat hari?”

“Iya Naya. Dan aku lega kau sudah sadar.”

“Afran, boleh aku pinjam ponselmu?”

“Boleh,” Afran merogoh saku jasnya. “Ini.”

Aku membuka lock screen ponsel Afran lalu menekan aplikasi camera untuk melihat mata baruku.

Ya Allah, kenapa harus mata ini? Kenapa harus iris mata biru gelap ini? Tangisku kembali membuncah saat mengetahuinya. Aku tau betul siapa pemilik mata ini. Afran berusaha menenangkanku namun tetap saja aku tidak bisa menerima kenyataan yang terjadi.

Marvell, kenapa kamu berbohong padaku? Mana janjimu untuk selalu bersama sama dengan ku?

Tujuh hari aku boleh pulang dari rumah sakit. Sekarang aku bersimpuh disamping makam seseorang yang sangat aku cintai. Hatiku sangat teriris membaca nama yang ada di nisan hitam itu.

Marvell Leonardian

“Marvell terima kasih untuk lima tahun ini. terima kasih sudah membuat hidupku berwarna, kamu yang mengajarkan ku mencintai dengan segenap hati. Kamu sudah menempati ruang dalam hati ku dan mengunci dirimu disana,” air mataku terus mengalir. “Maaf membuatmu kecewa. Maaf membuatmu kehilangan nyawa hanya untuk membuatku bisa melihat. Maaf untuk kita yang tidak satu keyakinan. Maaf aku mencintaimu tapi tidak dengan keyakinanmu,” aku berdiri dibantu Afran lalu mengusap  sisa air mata dan mencoba mengukir sedikit senyum untuk Marvell. “Terima kasih untuk mata indah ini cinta tak seagamaku. Aku menyayangimu.”

Dengan berat hati aku melangkah menjauh dari maka Marvell lalu masuk ke dalam mobil Afran dan dia mengantarku pulang.

Afran menghentikan mobilnya di depan masjid lalu dia turun dan membukakan pintu untukku. Aku hanya diam dan mengikuti langkahnya.

“Kita sholat dulu untuk menenangkan pikiranmu Naya.”

Kami mengambil wudhu dan sholat dhuhur dengan Afran sebagai imam. Selesai salam aku berdoa semoga Tuhan memberi ku lapang dada untuk kepergian Marvell selamanya. Afran menolah dan duduk di hadapanku. Aku mengusapkan tangan pada wajah lalu memandang Afran yang sepertinya ingin bicara.

“Naya, maukah kau menikah denganku dengan hati Marvell yang bersemayam dalam tubuhku?”

Sebelum Marvell benar-benar menutup matanya dan menghembuskan nafas yang terakhir kali dia berpesan kepada Afran untuk mengambil hatinya. Afran sebenarnya tidak mau, dia merasa bersalah dan tidak enak hati dengan Marvell.

"Aku mohon, demi Naya ambilah liver dalam tubuhku. Bukankah kau sangat butuh itu Afran? Meski kau sudah sembuh bukankah dia dapat kembali menyerangmu lagi? Hanya ini yang bisa aku lakukan sebelum aku pergi. Ambillah liverku dan minta Naya menjadi istrimu."

Afran menceritakan semua itu saat pemakaman Marvell selesai.

Dan di masjid besar ini setelah sholat dhuhur berjamaah dengannya, Afran melamarku dan juga Marvell memenuhi ucapannya yang akan selalu menjaga hatinya untukku.

Apa ini maksud mu Marvell? Kamu memintaku menjadi istrimu saat kita dalam satu keyakinan yang sama? Hatimu yang meminta itu melalui tubuh Afran.

Terima kasih Ya Allah. Rencana-Mu memang selalu indah pada waktunya.

Terima kasih.

Kubah SalibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang