Kubah Salib. pt 02

1.5K 175 55
                                    

Hari Raya Idul Fitri yang keempat kalinya bersama dengan Marvell. Bukan hanya ayah, ibu, dan kak Akmal saja yang tahu tentang hubungan kami, namun seluruh keluarga besar ku sudah mengetahui. Awalnya opa dan oma melarang kami untuk bersama. Aku tau sebenarnya maksud mereka adalah baik. Pernikahan beda keyakinan memang tidaklah tepat dilaksanakan dalam keyakinanku.

Selesai mengunjungi semua sanak saudaraku sekarang aku dan Marvell dalam perjalanan ke rumahnya. Kegiatan ini sudah kami lakukan sejak empat tahun lalu. Keluarga Marvell sangat baik padaku sejak saat pertama kali aku berkunjung. Tante Felicia dan om Ardian menganggapku sebagai putrinya sendiri karena hanya Marvell anak yang mereka miliki.

“Aku perhatikan sedari tadi kamu senyum senyum sendiri. Kenapa?” tanyaku. Kami berada di taman belakang rumah Marvell setelah makan malam.

“Tidak ada alasan lain yang membuatku sebahagia ini selain bisa duduk disini dengan mu Naya.”

Senyumku selalu mengambang saat di dekat Marvell. Hal sederhana yang dilakukannya sungguh terkesan istimewa untukku. Ada yang mengatakan kalau setiap hal yang dilakukan orang yang di cinta maka akan terasa begitu berbeda dan sangat berkesan meskipun hanya mengucap kata hai saat berjumpa. Begitu bukan?.

“Ya sudah kalau begitu kita duduk disini saja tidak usah kemana mana,” jawabku.

“Begitu lebih baik. Jadi aku tidak perlu membelikanmu vanilla ice cream lagi.”

“Tidak boleh begitu Marvell.”

“Kan kamu sendiri yang maunya duduk disini bukan?”

“Iya memang. Dan itu juga karena aku ingin selalu melihatmu bahagia Marvell, bukan berarti aku tidak mendapat ice cream dari mu lagi.”

“Ya sudah. Ayo ikut aku,” Marvell bangkit dari duduknya. Dia menggenggam tanganku.

“Kemana?”

“Beli ice cream dan hadiah untuk Nadira.”

“Ah benar. Bagaimana aku bisa lupa kalau itu besok ulang tahunnya.”

Aku lantas berdiri dan mengikuti Marvell masuk kedalam rumah untuk pamit dengan orang tuanya. Kami masuk ke mobil bersiap ke pusat perlengkapan baita membeli hadiah ulang tahun untuk Nadira yang ke tiga.

Dua jam kami berkeliling dan akhirnya mendapat hadiah yang menurut kami pantas untuknya. Mukena merah muda dengan hiasan buah strowberry sudah terbungkus rapi dalam kotak. Marvell juga membeli boneka yang dapat mengeluarkan suara lantunan surat dalam juz 30 Al-Qur’an. Bagaimana aku tidak jatuh terlalu dalam pada dirinya Ya Tuhan, sedangkan dia begitu mengerti tentang apa yang Rasul-Mu ajarkan.

“Kamu tidak sholat?”

“Kali ini tidak.”

“Kenapa?”

Aku menghela napas panjang mendengar pertanyaan polos yang Marvell lontarkan.

“Kamu tau sediri kan kalau aku sedang...“ aku sengaja menggantungkan kalimat. Kan tidak etis juga mengatakan hal itu di keramaian mall seperti sekarang.

“Ya sudah ayo pulang.”

“Bukannya kamu tadi bilang mau membelikanku ice cream?”

“Besok saja Naya. Sudah malam aku tidak ingin membuat ayah dan ibumu khawatir.”

“Ya sudah. Besok selesai acara ultah Nadira. Janji?”

“Iya baiklah my princess. Tapi, aku tidak mau berjanji, bagaimana kalau aku tidak bisa menepatinya?”

Perkataan Marvell membuatku diam. Aku tidak bisa menjawab lagi jika sudah begini. Marvell berhenti membuatku juga menghentikan langkah lalu dia berdiri didepanku. Menatapku dengan sorot mata yang tidak bisa ku mengerti. Iris mata biru pekat yang dimilikinya membuatku jatuh semakin dalam pada pesonanya. Lalu Marvell kembali menggenggam tanganku, membawaku entah kemana. Aku hanya diam mengikutinya hingga langkah kami terhenti di toliet wanita. Marvell melepaskan genggaman tangannya.

“Benahi dulu hijabmu Naya.”

Mendengar ucapan Marvell sontak aku melihat hijabku dan ternyata sedikit terbuka pada bagian depan. Lalu aku masuk ke toilet dan berdiri di depan cermin membenahi hijab ku. Aku rasa seperti ini sudah cukup. Saat melangkah keluar aku tidak menemukan Marvell. Kemana dia?

Aku merasakan getaran pada sling bag ku. Mengambil ponsel.

Marvell’s calling

Langsung aku menggeser tanda hijau dan mendekatkan ponsel ke telinga.

“Maaf Naya aku meninggalkanmu sendiri.”

“Kamu di mana?”

“Aku di mobil.”

“Baiklah aku kesana sekarang.”

Jujur, aku kesal dengan Marvell. Saat emosiku sedang naik turun dia dengan seenaknya meninggalkanku begitu saja. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung bergegas keluar mall menuju parkiran dimana mobil Marvell tertata di sana.

Aku membuka pintu penumpang bagian depan dan berharap bisa sedikit memarahi Marvell. Namun, dia tidak ada di kursinya. Lalu kemana dia sebenarnya?

Saat aku berbalik seseorang telah berdiri dihadapanku dengan gelang yang di juntaikan. Aku hanya berdiri diam sambil memandang Marvell dan gelang itu bergantian.

“Hai. Kok diam. Tidak suka dengan gelang ini? Hm?”

Sesaat kemudian aku tersadar setelah mengagumi manusia ciptaan-Mu ini Ya Tuhan. Dia begitu sempurna, namun apakah keyakinan yang berbeda kami bisa terus bersama?

“Ah. Apa yang kamu katakan Vell? Aku melamun tadi.”

“Gelang ini akan lebih bagus kalau melingkar di pergelangan tanganmu Naya. Sini aku pakaikan.”

Dengan senang hati aku membiarkan Marvell memasang gelang dengan hiasan bintang pada tangan kiriku. Lalu kami melanjutkan perjalanan pulang.

Keesokannya ulang tahun Nadira. Putri kecil kakakku  itu sangat suka menerima hadiah yang kami bawa. Aku dan Marvell berniat ke rumah sakit yang akan menjadi tempatku bekerja satu minggu yang akan datang. Menjadi psikiater memang cita citaku dan alhamdulillah sekarang bisa terwujud. Di rumah rehabilitasi yang berbeda dengan rumah sakit jiwa aku bisa melakukan kewajibanku sebagai seorang dokter atau tepatnya psikolog.

Genap satu bulan aku bekerja kini aku kedatangan pasien baru seorang pemuda yang seumuran dengan Marverll alias dua taun lebih tua dari ku. Keluarganya sudah menyerah untuk penyembuhan pemuda yang ku tau bernama Afran. Sampai saat ini belum ada yang tau alasan mengapa dia mengidap gangguan psikologi. Kepala rumah sakit memberi kepercayaan padaku untuk membantu masa penyembuhannya.

Mulai hari ini aku resmi menjadi dokter pribadi Afran hingga dia pulih kembali.

Permudahkanlah jalan yang aku tempuh Ya Allah.
Amin.

Kubah SalibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang