1. FLU

2.5K 268 29
                                    

.

Masih membawa beberapa kantong plastik berisi kotak kue beras, Jungkook mengedarkan pandangan ke lorong jajanan di area kedai timur. Sendalnya diseret pelan meniti jalan sambil sesekali menatap kalau-kalau ada sesosok pria berpenampilan aneh diantara kerumunan pengunjung. Bukan bermaksud mengacuhkan, tapi tingkah ayahnya yang sejak sesiangan bersikeras tak mau ditinggal membuat Jungkook kesal. Pria itu terserang flu berat dan memakai masker bukan alasan aman untuk membiarkannya berkeliaran di festival yang begitu riuh. Siapa yang sanggup menjamin ayahnya akan terjaga sampai acara selesai, mengingat untuk berdiri tegak saja Hoseok tak punya tenaga.

Untuk ukuran pelajar berusia dua belas tahun, Jungkook termasuk yang sangat bertanggung jawab. Sejak pagi dia sudah pontang-panting walau sedang libur musim panas. Mulai dari menelepon salah satu rekan ayahnya di kantor dan memberitahu pria itu bahwa yang bersangkutan berhalangan datang, bebersih ruangan, memasak bubur, menyeduh teh, mencuci pakaian, sampai membeli obat dengan mengayuh sepeda selama dua puluh menit ke apotek di jalan besar. Tadinya Jungkook pun hendak menolak ajakan Jimin dan Taehyung yang ingin ditemani menonton kembang api, tapi kedua anak lelaki itu terus membujuk sembari berkata bahwa mereka tak akan memaksa Jungkook tinggal berlama-lama.

'Satu jam pun boleh lho? Kau bisa pulang setelah kita makan sesuatu.'

'Tapi....'

'Ayahmu tak akan mati walau ditinggal sebentar.'

'Shush! Tae!'

'Tidak apa-apa kok, Chim.'

Pada akhirnya Hoseok yang sengaja menguping pembicaraannya langsung melompat turun dari tempat tidur, berusaha meraba jalan, kemudian sigap mendekati Jungkook yang tersentak kaget sekaligus berang sewaktu melihat kompres di kening Hoseok jatuh dan meninggalkan bekas basah di petak-petak lantai. Tubuhnya yang jauh lebih kecil tak mengurungkan usaha Jungkook mendorong ayahnya dengan paksa agar kembali ke tempat tidur, menyisakan rengut serta alis berkerut-kerut dari Hoseok yang segera bertitah, "Papa melarang Jungkook keluar rumah!"

Putranya lebih memilih fokus menyeka lantai dan membereskan mangkuk kosong di samping lampu duduk. Sama sekali enggan menoleh meski Hoseok terus saja menuding, "Papa serius! Papa bakal nekat membuntuti kalau Jungkook betulan pergi!"

"Jangan bertingkah," sahut Jungkook kalem, ujung tongkal pelnya digerakkan pelan, menolak memakai panggilan yang menurutnya terlalu modern untuk perawakan Hoseok, "Ayah sedang sakit dan aku tak mau mengambil resiko dimarahi paman Yoongi kalau ayah belum sanggup bekerja atau naik kereta besok lusa. Perlu kupanggil dia kemari biar ayah dibentak juga?"

Hoseok tidak menggeleng atau mengangguk, sudut bibirnya bergerak turun.

"Begini," anak laki-laki itu berbalik sambil setengah mengrenyit, "Ayah bukan anak kecil kan? Berhenti merengek seperti bayi. Toh aku cuma datang sebentar lalu langsung pulang selesai bertemu Tae dan Chim. Dari sini ke lapangan tak sampai tiga puluh menit jalan kaki. Aku pasti sudah kembali sebelum jam sembilan."

Hoseok makin merengut.

"Aku tetap akan ke sana," sergah Jungkook datar, diletakkannya segelas air dan obat di sisi lampu, "Lebih baik ayah tidur supaya pusingnya hilang. Aku tidak menerima bantahan."

"Jungkook jahat sama papa!!" gerutu pria itu sembari bergelung memeluk bantal, kedua kaki panjangnya ditekuk membentuk segitiga, "Apa teman-teman Jungkook lebih penting daripada papa?"

Berlagak tuli, Jungkook menyeret tongkat pelnya dan keluar sambil mendengus.

--

Dan mungkin bila paman Namjoon yang berpapasan dengannya di tepi jembatan tidak iseng menyapa sekaligus bertanya, Jungkook tak akan sadar kalau ayahnya yang keras kepala itu benar-benar menyusul pergi. Pandangan Namjoon padanya tampak janggal sementara paman Seokjin yang sedang memegang dua cumi bakar di sebelah pria itu segera menimpali, 'Kami melihatnya di gerbang masuk. Sudah kupanggil, tapi sepertinya tidak terdengar.'

Diary of Papa Hoseok & His Son JungkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang