.
Jungkook mengerang protes pada sinar matahari yang menerobos masuk melewati sela kerai kamarnya. Terlalu silau. Dikira-kiranya keadaan ruangan sambil mencoba bangkit perlahan. Sebelah lengan memegangi pelipis yang berdenyut, rasanya seperti baru saja terhantam sesuatu. Belum lagi nyeri yang membuatnya meringis kecut. Pusing. Lipatan kain lembap meluncur jatuh kala Jungkook menegakkan tubuh. Samar menggali ingatan walau harus berpikir keras, tentang sakit di kepala yang memaksanya menaruh pensil di atas lembar soal Bahasa Inggris, acuh pada cangkir mi instan yang masih bersisa, membiarkan piring-piring tergeletak di wastafel, meninggalkan buku-buku pelajarannya berserakan di lantai serta memilih ambruk ke tempat tidur saat itu juga. Kondisi tubuhnya mendadak tak enak sewaktu mengerjakan soal keenam, entahlah, mungkin masuk angin. Jungkook benci sekali kalau sudah begini.
Sekarang kakinya gemetar, pun masih berusaha berjalan menuju dapur sambil berpegangan pada pintu, dinding, juga selusur pegangan tangga. Namun baru beberapa langkah, sepasang lengan langsung memapahnya dengan amat bertenaga sampai Jungkook nyaris terangkat.
"Kok bangun sendiri?"
"Aku baik-baik saja," seloroh anak laki-laki itu—spontan mencengkeram lengan yang masih menahannya tetap di tempat, "Kenapa ayah ada di sini?"
Hoseok pura-pura terpukul, "Ini kan rumah papa."
Napas Jungkook berhembus berat, hanya bola matanya yang melipir malas. Agaknya tengah sibuk membayangkan apa yang harus ditulis pada surat permintaan maaf untuk sang paman karena Jungkook sudah membuat seseorang kabur dari dinas luar kota.
"Semalam Taehyung menelepon papa," sebelah lengan Hoseok beralih melingkari pinggang dan lengan lainnya diselipkan di bagian bawah lutut sambil berusaha tak menggubris sorot tajam dari Jungkook. Dibopongnya anak laki-laki itu ke salah satu kursi di dekat meja dapur. Tahu pasti bahwa Jungkook tak suka diperlakukan seperti bayi, tapi sepertinya yang bersangkutan terlalu lemah bahkan untuk sekedar menggeleng, "Dia menemukanmu mengaduh di kamar, tapi karena tak bisa memasak jadi dia memaksamu makan bubur instan sebelum lari ke rumahnya dan meminta Seokjin berbelanja. Makanannya sudah papa panaskan barusan. Jungkook mau?"
"Tae kemari?"
"Kok malah tanya?"
Bahu Jungkook terangkat, dia pasti terlalu payah sampai tak mengingat siapa yang menaruh kompres di dahi dan menyelimutinya dengan rapi.
"Dasar mulut ember, akan kujegal kakinya kalau muncul lagi," delik Jungkook, berjengit kala Hoseok meraba keningnya karena kulit pria itu terasa dingin, "Lalu kuseret supaya aku tidak sendirian saat dimarahi paman Yoongi."
Hoseok terbahak, "Justru Yoongi yang meminta papa segera pulang lho? Dia tahu papa tidak bisa tenang kalau Jungkook sakit. Ararara, jangan pasang muka cemberut begitu, nanti tidak manis," dijepitnya hidung Jungkook memakai dua jari, "Papa sudah menelepon wali kelasmu untuk minta ijin. Setelah ini kita ke dokter dan Jungkook tak boleh menolak. Kalau memang nanti perlu istirahat lebih lama, papa yang akan mengurus suratnya ke sekolah."
"Aku cuma perlu minum obat penurun panas," lengos Jungkook, enggan mendramatisir, "Apa tak sebaiknya Ayah kembali ke tempat dinas dan membantu paman Yoongi? Aku tak mau disalahkan kalau Ayah ditegur gara-gara terlalu sering kabur dari pekerjaan."
"Lalu siapa yang akan mengurus Jungkook di sini?"
Anak laki-laki itu berpaling ketus, "Ada Tae."
"Lalu kau pikir dia tidak sibuk?" Hoseok balas mengrenyit, nada suaranya meninggi dengan alis menukik tajam. Kepalanya ditundukkan sejajar dengan pandangan Jungkook yang merengut tak terima, "Kau harus ingat kalau Taehyung itu lebih tua dan tak bisa disuruh seenaknya. Papa yakin dia tidak belajar semalam karena harus mengurus bocah rewel yang bersikeras tak mau merepotkan orang dewasa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of Papa Hoseok & His Son Jungkook
Fanfikce[BTS - HopeKook & TaeKook] Catatan keseharian dari Jung Hoseok, pekerja kantoran biasa yang ingin dipanggil papa, dan Jungkook, anak angkatnya yang tak bisa dibilang ramah.