.
Jam makan siang harusnya jadi saat paling menyenangkan. Harusnya. Terutama awal-awal minggu seperti ini, dimana segalanya bermulai dan tugas berdatangan, laporan menumpuk, dokumen menggunung dan telepon yang tak henti-hentinya berbunyi. Hoseok bukanlah orang yang terlalu suka mengeluh, tidak untuk beberapa hal, kecuali masalah sepele yang sanggup merusak suasana hatinya selama sehari penuh. Namjoon pernah berkata jika lancar tidaknya suatu hal sangat bergantung pada suasana hati, dan tampaknya kalimat itu benar. Entah sudah berapa kali dia salah tekan abjad yang berdekatan di papan ketik komputernya yang sensitif, keliru mencetak lembar-lembar laporan sampai Yoongi harus meneriakinya keras-keras karena membuang-buang kertas, atau tak sengaja mengirim e-mail yang belum selesai ditulis ke alamat sureal Pak Kepala Bagian yang, syukurlah, sedang absen karena ada janji bermain golf dengan klien. Namjoon yang sedang berdiri di dekat mesin penyeduh minuman hanya tertawa kecil dan bertanya apakah dia perlu teh agar sedikit rileks.
Hoseok menyandarkan dahi di sisi pembatas antara mejanya dan meja Namjoon. Rekannya, Wonpil, tak menggubris keadaan dan malah sibuk menelusuri situs sepakbola sambil mengunyah sandwich tuna. Penghuni lantai empat di perusahaan itu boleh dibilang bernasib mujur sebab kepala bagiannya paling sering tidak masuk. Hoseok tahu itu. Tim bagian iklan yang bermarkas satu lantai di bawahnya selalu mencibir iri mendapati pria-pria di area itu berlaku santai tiap kali ada jam kosong. Namjoon berkilah dengan berkata bahwa yang terlihat hanyalah sebuah kebetulan, senggang setelah rapat dua jam penuh. Biasanya mereka justru bekerja bagai kesetanan. Mengejar lembur, kadang.
Hoseok melirik barisan yang kosong karena Yoongi masih berkutat mengkopi dokumen dan Yongguk memilih pergi ke kafetaria, entah membeli apa. Sementara baris tengah diisi ketukan brutal papan ketik dari jari-jari Wonpil. Pucuk kepala Namjoon menyembul di ujung kiri, menenteng kotak di salah satu tangan sambil menatap heran, sepertinya tertarik menghampiri Wonpil yang sedang bersorak ribut memakai logat Asia Selatan, meski sangat diragukan keasliannya.
"Tidak ada yang mau makan?" tanya Yongguk begitu keluar dari dalam lift, kedua lengannya mendekap bungkusan berisi sejumlah roti, telunjuk Wonpil menuding punggung Yoongi yang mulai menemukan hobi baru, menendangi mesin fotokopi, "Taruh di sini, kalau lapar pasti dimakan."
"Bisa berhenti merusak properti kantor, Tuan Min yang kuhormati? Jabatanmu memang lebih tinggi dariku, tapi tim kita masih membutuhkan mesin itu."
"Diam kau, tahi ikan."
Yongguk melempar sepotong penghapus ke kepala rekannya yang terkenal kurang ajar, yang sayangnya, bisa ditepis Yoongi menggunakan buku catatan.
"Namjoon, mau?" sebungkus roti terjulur ke udara sebelum turun kembali disertai tawa pelan, "Oh, suami tercinta memaksamu membawa bekal hari ini? Biar kutebak, nasi gulung lauk ikan salmon dengan asinan rumput laut dan biji wijen kesukaan Taehyung?"
Namjoon menggeser kursi lalu berdiri memajukan bibirnya yang masih mengunyah.
"Aku lebih hapal menu bekalmu daripada kurva keuangan perusahaan ini," Yongguk nyengir kuda, "Oi, Wonpil, mau roti?"
"Main prayah subah sat baje nashta karti hun."
"Bahasa apa itu?"
"India."
Yongguk langsung melempar gumpalan kertas kusut ke arah pria jangkung berambut cokelat tersebut. Namjoon tertawa lagi, rekannya yang baru bergabung tahun lalu itu memang kerap jumawa walau perangainya agak kurang bisa dimengerti.
"Jangan bicara padaku sebelum tuas otakmu bergeser ke posisi semula," Yongguk menuang kopi di sejumlah gelas kertas lalu menaruh salah satunya di samping Hoseok, "Muram sekali. Kurang belaian, sayangku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of Papa Hoseok & His Son Jungkook
Fanfic[BTS - HopeKook & TaeKook] Catatan keseharian dari Jung Hoseok, pekerja kantoran biasa yang ingin dipanggil papa, dan Jungkook, anak angkatnya yang tak bisa dibilang ramah.