Laki-laki tampan, rahang yang kokoh, alis tebal, hidung mancung dan bibir yang sangat sexy menggoda iman kaum hawa berlari cepat. Bukan hanya berlari, tetapi seakan terbang. Pohon-pohon banyak yang tumbang saat ia melewati -menabrak- pohon yang tak berdosa itu. Mata hijaunya yang tajam itu terus mengikuti arah mobil ferari merah itu bergerak.
Bukan karena mobil yang terlihat menawan, tetapi karena indera penciumannya yang terlalu kuat, yang tak pernah tahan mencium bau darah segar, walau beribu mil jauhnya. Kaki-kakinya yang panjang dan kuat itu terus mengikuti ferari merah yang mengangkut dua orang wanita.
Kenapa tidak langsung serang saja? Alasannya hanya satu. Dia terlalu mencintai salah satu gadis itu. Bahkan ingin mengklaim-nya menjadi miliknya saat waktu itu tiba.
Mobil ferari itu berhenti tepat di salah satu rumah. Bukan salah satu, tetapi itu rumah tua satu-satunya yang ada di tengah hutan.
Seorang gadis dengan kaos merah yang bertulis 'Smile' dengan jeans biru tua dipadu dengan boot kulit berwarna coklat tua keluar dari pintu penumpang itu. Tangannya yang putih melepas kacamata hitamnya dan memasukkannya ke dalam ransel.
Seulas senyum ia berikan kepada rumah tua itu. Rumah tua yang baginya adalah harta satu-satunya. Harta yang menyimpan beribu kenangan manis.
Rumah tua itu bercat putih, dengan sebuah bangku kayu terletak di dekat pintu masuk.
"Sampai kapan kau memandangi rumah ini, Cel? Ayo masuk." Ajak perempuan yang terlihat beberapa tahun lebih tua darinya.
Dengan gerakan anggun perempuan itu berjalan mendekati pintu. Mengeluarkan sebuah kunci dan dia menghilang di balik pintu itu.
***
»Celine«
Rumah tua ini, satu-satunya harta yang berharga peninggalan mendiang ayahku. Berharga? Ya. Beribu bahkan berjuta memori kenangan manis berada di sini. Di setiap incinya, rumah ini juga menyiramkan berjuta kehangatan keluarga.
Setelah empat tahun, kami -aku dan Josh kakakku- baru menginjakkan kaki di rumah ini. Sebelumnya, kami memilih tinggal di Italia bersama mama.
"Merindukanku heh?" Seseorang menarikku dari belakang. Sentuhannya dingin. Sangat dingin. Bahkan di balik perutku, aku masih bisa merasaka betapa dinginnya kulit tangan yang melingkari pinggulku.
Aku tersenyum.
"Kenapa tersenyum?" Tanyanya sambil mempererat pelukannya. Bahkan aku merasa seperti tinggal di kutub utara. Ok ini berlebihan. Tapi itu lah aku. Aku tidak begitu tahan dingin.
"Kapan kau sampai?" Tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya.
"Satu detik setelah kau sampai sini." Dia melepas pelukannya dan berjalan meninggalkanku, masuk ke dalam rumah.
Aku menaikkan bahuku, "Mengagumkan." Kataku pelan dan langsung menyusulnya.
"I know that babe." Teriaknya dari dalam.
'Dasar vampire menyebalkan' pikirku.
"Thanks a lot, babe" teriaknya lagi. Aku memutar bola mataku. Dapatku dengar suara cekikikannya di dalam. Bahkan suara Rose yang ikut tertawa.
Semua benda-benda itu tidak berubah. Sebuah foto keluarga yang sangat-sangat bahagia terpampang jelas saat aku masuk. Laki-laki berkumis tebal dengan kacamata minusnya duduk sambil memeluk wanita pirang cantik. Di samping kanan kiri mereka terlihat seorang bocah laki-laki dan seorang bocah perempuan.
Itu foto keluargaku yang diambil saat aku dan Josh berumur lima tahun. Saat itu aku dan Josh baru saja pulang bermain dari danau di belakang rumah ini. Dan dengan jahatnya Josh melempar bola kesayanganku ke danau. Kala itu aku menangis, dan tentu saja Josh dimarahi. Namun, bukannya mama atau papa mengambilkan bola itu, mereka malah mengajakku berfoto ria sampai aku benar-benar lupa dengan bola itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
When the Darkness Comes
VampireCeline, gadis berdarah murni penyihir yang baru saja pindah dari Itali, tidak menyangka melihat sebuah adegan yang mengharuskannya berhadapan dengan pangeran vampire. Walau kekasihnya pun seorang vampire, tetapi itu semua tetap membuatnya takut meng...